ZONALITERASI.ID – Festival Angin dihelat di Desa Cibuluh, Kecamatan Tanjungsiang, Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada 8 sampai 29 Februari 2020. Event ini bersamaan dengan momentum peringatan Hari Ulang Tahun Desa yang jatuh setiap 5 Februari. Materi kegiatan merupakan hasil musyawarah warga, kemudian disusun menjadi materi kegiatan yang berlangsung setiap hari Sabtu dan Minggu selama bulan Februari.
“Festival Angin merupakan alat untuk mendorong inisiatif dan kreativitas warga desa dan memetik manfaat bersama seluruh stake holder Desa Wisata Cibuluh,” kata Kurator Festival, Bambang Subarnas, Jumat (7/2/2020).
Bambang menjelaskan, masyarakat Cibuluh sudah lama mengenal musin angin barat, yaitu hembusan angin yang datang dari arah laut Jawa Indramayu menuju ke arah selatan, melalui celah lembah antara gunung Pasir Ciheulang, Gunung Banjaran dan Gunung Pasir Cigore. Hembusan angin dari lembah dan naik ke arah perbukitan Gunung Canggah itu berlangsung selama 3 bulan, yaitu dari bulan Desember sampai Maret.
Menyambut angin barat ini, lanjutnya, biasanya masyarakat memiliki tradisi mendirikan kolecer. Dilihat dari sudut kepariwisataan, potensi alam dan budaya ini merupakan daya tarik yang bisa memberi manfaat untuk masyarakat.
“Akar tradisinya telah hidup lama, kemudian dikemas dan secara bertahap dikembangkan ke arah kesadaran pemanfaatan energi angin. Maka, jadilah event ini diberi nama Festival Angin. Festival Angin ke 1 tahun 2020 ini dianggap sebagai dummy yang akan dievaluasi bersama setelah event selesai,” terangnya.
Tentang Desa Wisata Cibuluh
Bambang mengungkapkan, Desa Cibuluh merupakan desa wisata yang sudah ditetapkan melalui Peraturan Desa No. 03 Tahun 2017, disusul dengan SK Kepala Dinas Pariwisata, Kepemudaan, dan Olah Raga Kabupaten Subang No. 556/537/Disparpora/2017. Pembentukan desa wisata ini dilakukan secara mandiri sebagai perwujudan visi Kepala Desa, Aep Nurjaman (2014 – 2019) untuk merawat dan memanfaatkan potensi budaya di desa Cibuluh.
“Melalui kerja sama dengan Yayasan Bale Budaya Bandung selama 5 tahun (2016 – 2021), Cibuluh secara bertahap membentuk diri menjadi desa wisata dengan target sistem kepariwisataan desa dapat teraplikasikan di dalam kegiatan sehari – hari masyarakat maupun pemerintahan desa. Program ini terus berlanjut di bawah kepemimpinan kepala desa 2018-2024, Edi Junaedi, A. Md. Sn.,” ujarnya.
Mengapa memilih untuk menjadi desa wisata? Menurut Bambang, kehidupan masyarakat di kawasan ini tentu jauh lebih tua, dibandingkan dengan usia administratif Desa Cibuluh yang baru merayakan hari jadi ke 92 pada tahun 2020 ini.
Di dalam Naskah Bujanggamanik (abad 15), lanjutnya, tertulis bahwa Bujanggamanik – putra mahkota Pakuan Pajajaran- dalam perjalanan menelusuri kamandalaan di Jawa – Bali, melewati sekitar kawasan ini. Hal ini menjadi petunjuk bahwa abad ke 15 di kawasan ini sudah ada kehidupan masyarakat.
Berikut kutipan yang ditulis dalam buku terbitan Pustaka Jaya (2008), Tiga Pesona Sunda Kuno, karya tulis J. Noorduyn, A. Teeuw dan diterjemahkan oleh Hawe Setiawan:
Nepi aing ka Cinangsi, meuntas aing di Citarum. Ku ngaing geus kaleumpangan. meuntas di Cipunagara, lurah Medang Kahiangan, Ngalalar ka Tompo Omas, Meuntas aing di Cimanuk, Ngalalar ka Padabeunghar.
Aku sampai ke Cinangsi, Menyeberangi sungai Citarum, Aku sudah melewati daerah ini. Aku menyeberangi sungai Cipunagara, Bagian dari daerah Medang Kahiyangan, Berjalan melewati gunung Tompo Omas, Menyeberangi sungai Cimanuk, Berjalan melewati Padabeunghar.
“Memang perlu penelitian lebih jauh, mungkinkah di sekitar kawasan ini terdapat kamandalaan (pusat perguruan) yang dituju oleh Bujanggamanik? Adanya kehidupan masyarakat di kawasan ini juga diperkuat oleh tulisan Ten Dam seperti yang dikutip oleh Amir Sutaarga (Duta Rakyat, 1966), tentang jalur yang menghubungkan Kawali di Ciamis dengan Pakuan Pajajaran di Bogor (abad 11 – 16), melewati kawasan ini,” terangnya.
Dipaparkannya,Ten Dam menyebut jalur ini dengan sebutan Pajajaran High Way. Kekayaan alam dan budaya yang menerus hingga hari ini, dihadapkan pada tantangan perubahan jaman yang menuntut kemampuan untuk mengelola potensi desa, baik potensi alam maupun potensi budaya,- agar memberi manfaat. Manfaat untuk peningkatan kesejahteraan maupun penguatan identitas (jati diri) masyarakat Cibuluh hari ini dan masa yang akan datang. Jika tidak, Cibuluh bisa terlindas oleh kekuatan para pemodal besar yang menjadikan masyarakat hanya jadi pekerja upahan.
“Tanah, air, keragaman hayati, tradisi yang berlanjut dan adaptif, perlu dikelola dengan bijak oleh warga dan pemerintahan Desa Cibuluh. Kepariwisataan, dengan demikian merupakan sarana untuk melakukan Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan,” tandas Bambang.***