Oleh Suheryana
SARAPAN pagi birokrat, setelah jalan pagi mencoba mobil dan mendengarkan cerita tentang fitnah. Pantaslah sejak zaman Majapahit, kekuasaan itu dikelilingi fitnah dan intrik. Rupanya seni inilah yang dilestarikan sejak zaman Romawi Kuno.
Untuk mencapai kekuasaan segala daya dikerahkan. Biaya tidak terhitung. Sumber daya manusia, bahkan –itulah- menabrak moralitas. Norma bagi kekuasaan adalah patok yang berjalan. Yang bisa digeser ke mana pun oleh orang yang berkuasa.
Di pusat kekuasaan, bertebaran abdi-abdi yang juga ingin merasakan enaknya kekuasaan. Ingin dekat dengan penguasa. Mereka inilah yang mengembangkan seni intrik di seputaran istana. Menempa diri dan ngarengkas (menjegal) kaki sejawat. Bahkan tanpa rasa dosa dapat menebar fitnah yang menempatkan posisi sejawat dalam maqom yang rendah, jelek, terhina, tersudut. Entah benar atau salah. Karena nafsu kekuasaan tidak mengenal salah dan benar.
Disebut apakah ruang-ruang intrik dan kekuasaan. Ekonomi tentu bukan. Sosiologi bagian kecilnya. Psikologi mungkin ada. TETAPI yang paling pas disebut politik. Walaupun boleh jadi ini adalah politik pada sisinya yang kotor.
Lalu di manakah para professional. Orang jujur yang mencari nafkah dengan kompetensinya. Apakah mereka menjadi bagian kekuasaan yang bermain intrik. Ataukah menjadi bagian birokrasi yang melaksanakan tugas secara profesional. Barangkali di Ebiet ada jawabnya. ***
Suheryana terlahir di desa tetapi cita-citanya aneh. Ingin menjadi penulis, penyair, atau novelis. Setelah sepuluh tahun mengabdi sebagai PNS di Timor Timur, sekarang tinggal di Pangandaran melanjutkan kariernya sebagai PNS. Dipercaya membantu Bupati sebagai Asisten Administrasi Umum.