Oleh Beni Setia
TERINGAT, kalau Rabu (09/02/2017) itu pas di hari liburan Nyepi, dan menjelang peristiwa Gerhana Matahari itu, pagi-pagi istriku tak perlu bekerja (sebagai pns) dan memilih pergi ke Pasar—mencari sarapan, dan menimbun persediaan makanan buat tiga hari ke depan. Celaka-nya: Pasar di C, di M (Jatim) itu sepi, lengang seperti ketika Hari Raya—warung makanan, penjaja, dan bakul sayur keliling juga meliburkan diri. Cuti. Memilih bersembunyi, tidak berkegiatan, sebab pada saat itu–sesuai mitos Jawa tentang gerhana–: Betara Kala sedang ngamuk, ia akan dibebaskan dan merajalela menerkam serta memakan apa saja.
”Apa rejekimu ingin ditelan Betara Kala ..?” bisik si seorang penjaja. Saya ingat, pada hari itu, di seluruh Bali: penganut Hindu Darma sedang melaksanakan laku Nyepi—ibadah reflektif, menarik diri, merenung dan tidak melakukan apa-apa. Apakah ini berhubungan? Apa kaitannya? Entah! Yang pasti, istri tetap mendapat sarapan dan persediaan makanan buat hari berikutnya—selalu ada orang yang pura-pura lupa, melupakan segalanya, serta tetap berdagang dalam kondisi tanpa banyak saingan. Karena itu, saya pun tetap aerobik, setelah selama tiga hari terhenti karena dikejar tengat menulis. Bergerak cepat, leluasa di tengah kota (kecamatan) yang sepi, serta bebe-rapa kali berpergokan dan berpapasan dengan orang yang bergegas dan serius mau shalat kusuf.
Mereka melirik separuh mencemoohkan kualitas (sangka) keimananku—aku, jadinya, agak rikuh, meski kemudian cuek sebab di sawah, di sekitar, banyak orang yang sedang merontokkan gabah setelah di udara dingin, semalaman, menyabit padi. Lagi pula, saya amat yakin, Allah itu pengasih; serta total berprasangka baik, bahwa Allah yang Kuasa menciptakan semesta dan isi-nya dengan pedoman kepastian dan keteraturan—seperti yang hidup akan mati, dan semesta akan musnah dalam kiamat. Karena itu gerhana—maksudnya matahari, bulan atau bumi—mirip lintasan kereta pada rel double track, amat leluasa berpapasan serta terus leluasa melaju—meski yang ekonomi biasanya mengalah, stop, agar jalurnya dipakai (dulu) yang eksklusif.
***
APA beda gerhana dengan fakta ada dua rel, dengan dua kereta di rel masing-masing yang berpapasan dalam rentangan detik? Bukankah bis Ekonomi di satu saat akan tersusul bis Patas, serta di sekian detik mereka ada dalam kondisi sejajar? Mengapa menjadikannya sebuah peristiwa besar—bahkan dijual sebagai obyek parawisata—cuma karena titik lintas momen persinggungan itu berjangka waktu lama? Dan saya teringat ke unggahan FB teman yang teramat religius, yang berharap agar yang salat gerhana akan lebih banyak dari si yang sekuler melulu menonton gerhana sebagai peristiwa parawisata. Tetapi tetap saja ada yang masih suka—dan gairah— menonton kereta berpapasan di lintasan rel ganda. Atau (sekedar) apa setiap mobil SUV disalip sedan yang ngebut perlu ber-istigfar?
Sekulerisne–stasion TV berlomba-lomba menyelenggarakan live show dengan sponsor—, dilengkapi dengan hamburan tayangan mitos, aroma religiusitas agama, serta dakwah. Tapi apa laku seperti itu mesti menunggu adanya gerhana, hari besar, atau bencana alam, agar kita semua ingat dan berpegang pada (tali) Allah? Kalau dalam kenyataan, kita hidup di ujung kemungkinan akan mati ketika belum tuntas memikirkan arti mati itu sendiri—di dalam rentangan 0,000.001 detik berikut–? Kenapa kita tidak selalu memikirkan Allah, senantiasa eling, serta mengagung-kan-Nya di setiap detik, di setiap hela nafas, dan di setiap gumpalan darah yang menderas di-pompa jantung dan berdenyar pada aorta—melesat ke sel terujung, balik ke jantung buat dibersihkan dan diberi nutrisi, serta ke sel lagi—?
Kita ini selalu termarjinalkan, hidup selalu dimarjinalkan. Fana, sebagai ihwal yang selalu ada dalam hitungan detik—tersiksa—, dan kini malaĥ disiksa gangguan: akan ada dan (bahkan) menjadi apa ketika posisi Matahari, Bulan, serta Bumi sejajar? Bagaimana kalau Bulan itu hunjam tersedot gravitasi Bumi? Bagaimana bila gravitasi Matahari menyerap serta menelan Bulan dan Bum, ke dalam proses standar blackhole—meski butuh momen pemasifan Matahari terlebih dulu, sehingga cahaya raib, serta matahari menjelma obyek yang menyerap semua, bahkan itu sekedar eksistensi sinar yang trepancar dan dipancarkan–? Dan buat yang terakhir itu, saya percaya, waktunya masih teramat lama—mungkin itu terjadi di generasi keseratus setelah kini, peduli orang bilang bahwa tanda-tanda kemunculan Dajjal, Mahdi, Jayuz dan Majuz, dan kiamat sudah tampak.
Karena itu saya tetap aerobik di pagi dingin, berkabut, remang, dan senyap—meski beberapa mesjid khidmat bertakbir. Kota jadi khidmat—penuh aura religius. Agak siang, saya , ketika penyiar TV bilang, bahwa Bulan bergerak menutup Matahari, sebab itu alam menjadi gelap. Dik-si menutup mengandaikan Bulan sama besar dengan Matahari, sehingga Bumi terhalang; padahal Matahari lebih besar dari Bulan dan Bumi. Cuma ”terhalang”, hingga cahaya siang hanya hilang di beberapa titik pandang serta sawang di daerah yang mengalami peristiwa Gerhana Matahari Total—tidak di semua tempat, ada yang cuma mengalami Gerhana Matahari Sebagian, dan banyak yang tidak ada mengalami efek ”malam-mendadak” saat Matahari teraling Bulan. Siang tetap normal, hingga fakta gerhana itu perlahan jadi hanya fakta lokal, menyangkut: titik pandang di tempat si bersangkutan kena dampak bayangan—di siang hari—, saat Bulan menutup terang Matahari bagi sebagian orang.
Sederhana sekali. Mengapa orang ribut menabuh lesung, seakan semua keriuhan bisa membuat Betara Kala kaget, serta serentak memuntahkan Matahari, yang ditelannya? Mitologik yang terlalu jauh, yang tidak akan membuat orang khusyuk mengingat Allah, Pencipta Segala, agar kita selalu sadar akan kepapaan diri, ketidakberdayaan manusia dan meminta lindungan keperkasaan-Nya, Yang Maha itu, dengan ketakwaan dan keikhlasan yang bisa drintis dan dimulai dari hal kecil bin sepele? Karena itu, untuk religius dan bertakwa, kenapa kita masih membutuhkan ada-nya peristiwa semesta gerhana, hari besar, bulan besar, dan bahkan bencana raksasa? ***
Beni Setia, pengarang.