Het Zachtste Volk der Aarde, setelah 350 Tahun

WhatsApp Image 2021 08 11 at 19.01.38
Pasukan Diponegoro melawan serdadu Belanda, (Ilustrasi: buku Babad Kedung Kebo, koleksi KITLV. Diambil dari Sisi Lain Diponegoro, Peter Carey, 2017).

Ditulis oleh Mang Andi Espe

HALO, Bung! Ini bulan, Kita bahagia. Ini bulan jadi simbol peralihan. Bulan simbol pembebasan. Ini bulan, awal kisah Kekasih Kita, Jungjunan Alam berhijrah untuk menyusun kemenangan. Selamat tahun 1443 hijriah. Selamat melakukan pembebasan.

Ini juga bulan awal kisah, karuhun kita membebaskan diri setelah 350 tahun dikangkangi karuhun bangsa lain.

Sedih, Bung. Tigaratus limapuhuh tahun itu rentang masa yang sangat panjang. Bahkan negeri merdeka ini pun masih jauh untuk genap seabad usianya.

Kaget, Bung. Ketika belakangan ini ada saudara-saudara Kita yang mempertanyakan benar-tidaknya kita dijajah selama itu. Ketika ada anak-cucu yang menuduh karuhunnya keliru merumuskan sejarah. Oh … Apa mereka pikir karuhunnya itu bodoh tak punya wawasan? Mereka pikir, karuhun kita memanipulasi sejarah hanya untuk kepentingan sendiri? Aah …

Bung tentu ingat, ketika Bapak Kita dulu, berulangkali berkata dengan bergetar. Katanya, leluhur bangsa ini telah 350 tahun memberikan darahnya bagi hidup leluhur bangsa lain, bangsa penjajah. Lalu si penjajah gemuk, dan bangsa kita kurus kering. Ketika bapak kita menyitir sindiran, yang katanya, ini bangsa adalah het zachtste volk der aarde. Orang-orang paling lemah-lembut di muka bumi, yang begitu mudah dikangkangi hingga berabad-abad.

Yaa, kata Bapak Kita, mereka tidak sadar, jika orang-orang terlemah-lembut ini mampu bangkit serentak melawan. Mampu mengusir penjajahan, bahkan mensponsori agar dunia menghapuskan segala bentuk penguasaan suatu bangsa atas bangsa lain.

Bung! Bangsa ini memang tidak dijajah sepanjang 350 tahun, full. Tapi perlahan-lahan, sejengkal demi sejengkal, tanah karuhun kita dikuasai mereka. Bung, kan tahu. Tanah Priangan saja baru resmi dikuasai si penjajah tahun 1705. Hanya 240 tahun, itu resminya. Tapi jauh sebelum itu, mereka sudah ngintip-ngintip peluang, mencari cara dan celah untuk menguasai Priangan dan sekitarnya. Begitu pula dengan tanah-tanah lainnya di negeri ini, semua dikuasai bertahap pada titimangsa yang berbeda.

Jika ada yang bertanya kapan bangsa ini dijajah si penjajah? Bagaimana kita bisa menerangkan tanggal-tanggal itu dengan mudah. Butuh berlembar-lembar kertas untuk menuliskan rincian titimangsanya.

Iya, Bung. Tiga setengah abad itu adalah ‘judul’ untuk masuk pada angka-angka pasti, tentang berapa lama bangsa ini dijajah bangsa lain. Dan semua sudah tahu, tiga setengah abad dijajah itu adalah jargon politik, dan jargon itu tidak keliru.

Dulu si Tuan De Jonge, salah seorang pembesar penjajah itu, pernah koar-koar di awal abad ke-20. Katanya, bangsanya telah menguasai negeri ini selama tiga ratus tahun, dan akan tetap begitu hingga tiga ratus tahun ke depan. Justru kata-kata itu yang kemudian dipakai sebagai senjata oleh Bapak Kita, untuk menyingkirkan bangsa penjajah dari negeri ini.

Bung tentu ingat. Ketika si Tuan De Houtman turun dari kapal dan menginjakan kaki di tanah Negeri Wahanten? Iya, tahun 1596. Tahun itulah yang dijadikan patokan si Tuan De Jonge, tentang tiga ratus tahun berkuasa itu. Memang, tujuan si Tuan Houtman itu hendak berdagang. Tapi sekaligus berancang-ancang pada penguasaan wilayah. Kan bisa kita lihat pada kisah-kisah lanjutannya.

Lagi pula mereka itu pedagang yang aneh. Berdagang kok, bawa banyak bedil dan meriam, lalu maksa dengan todongan kolewang. Berdagang dengan memaksa dan memeras untuk keuntungan besar, itu kan penjajahan juga. Mereka memang sudah bertekad menguasai tanah-tanah yang didataginya. Itu semua, buah dari pertengkaran mereka dengan tetangga mereka di tanah mereka di seberang laut jauh sana. Lalu, tanah negeri karuhun kita yang kena dampaknya.

Bung …! Ini kan kisah yang sudah diberikan pada Kita, pada anak-anak kita sejak di bangku sekolah dasar. Dan semua tahu, setiap jengkal wilayah mengalami masa penjajahan yang berbeda. Kok ya bisa, sekarang ada yang meragukan hal itu?

Kita memang pernah dijajah selama itu. Kenapa musti malu menjadi bangsa yang pernah dijajah. Kenyataannya, karuhun bangsa penjajah yang menjajah karuhun kita pun berulang kali dijajah orang. Sampai-sampai, mereka merintih dan berkeluh-kesah ketika dijajah tetangganya. Katanya, “de tirannie verdrijven, die mij mijn hart doorwondt.” Ooh … zijn hart terluka katanya, karena tirani. Dikira mijn hart juga tidak terluka, gitu?

Dijajah itu bukan perbuatan buruk. Dijajah, hanyalah nasib buruk. Menjajah, itu baru namanya perbuatan buruk, sebab mengakibatkan orang lain bernasib buruk. Jika yang dijajah tidak mau mengubah nasib, itu baru boleh disebut perbuatan buruk, baru boleh merasa malu.

Bung, ingat tahun 1945? Saat itu karuhun kita bergerak untuk mengubah nasib. Mereka tidak malu mengakui bahwa karuhun mereka dulu hidup terjajah, lalu bersabar dalam derita. Tapi lihat penjajah itu, saat itu mereka tidak mau mengakui keburukannya, malah ingin kembali mengulang keburukan itu.

Tiga setengah abad, Bung. Itu benar. Tak perlu Kita pertanyakan lagi. Apa kita perlu menunggu Pak Dirman dan pasukannya bangkit dari kubur, lalu bingung bertanya, tentang siapa yang mereka usir dan mereka tembaki dulu itu? Aah …

Hormatilah kiprah karuhun. Tuh …! Lihat karuhun Kita di tatar Sunda, Kyai Bagus Rangin, Ki Bagus Serit dan pasukannya. Dua puluh tahun mereka berjuang. Tatkala tinggal selanglah lagi meraih kemenangan menghancurkan kekuatan penjajah, mereka memilih mundur, demi karuhun mereka yang telah tiada.

Sulit Bung, berperang menghadapi orang yang licik. Saat itu si Jenderal Richemont yang sudah patah arang, mengarahkan moncong seluruh meriam darat dan laut milik mereka ke makam Kanjeng Sunan Gunungjati. Bagi Kyai Bagus Rangin dan pasukannya, kehormatan karuhun harus selalu dijaga, sedangkan perjuangan bisa diulang kapan saja. Begitu kisah di zaman dulu.

Oh iya, Bung. Di ini zaman, Kita sedang menderita. Kita semua, Bung. Bukan hanya Kita yang ada di negeri ini, tapi semua der aarde, fil ardi. Samarcapada sangsara ku sasalad corona. Apa kita akan menyerah dan hanya menyalahkan si itu si eta …? Tidak, Bung! Itu bukan mental bangsa ini.

Bung…! Ayo Bung! Ini bulan berjuang. Ini bulan berpindah, bulan merdeka. Di ini zaman kita berjuang mengusir sasalad covid agar menyingkir dari muka bumi. Ini bulan di zaman ini, akan dikenang anak-cucu Kita. MERDEKA!***

Mang Andi Espe, penulis, alumni Jurusan Pendidikan Teknik Mesin FPTK IKIP Bandung (UPI).