Implementasi Kurikulum BK 2013 dan Hubungannya dengan Permendikbud No. 111 Tahun 2014 di SMAN 1 Campaka

foto artikel 2 452x400 1
Mudji Hartono, (Dok. Pribadi).

Oleh Mudji Hartono

PROSES pendidikan di sekolah saling berkaitan dengan Bimbingan Konseling (BK). Begitu pentingnya kehadiran BK dalam pendidikan sehingga tidak aneh bila hal yang berkaitan dengan BK diatur dalam Permendikbud No. 111 Tahun 2014. Dari kompetensi yang harus dipunyai oleh seorang konselor, jumlah siswa yang harus ditangani oleh satu orang konselor, sampai program yang wajib dilaksanakan oleh seorang konselor.

Dalam Kurikulum 2013, BK diharapkan mampu mewujudkan dan membentuk peserta didik yang mandiri, cerdas, dan kreatif sehingga peserta didik belajar sesuai dengan bakatnya. Tentu saja hal ini akan berpengaruh pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia nantinya.

Dengan kelebihan BK yang mempunyai wewenang menyusun kurikulum BP/BK, sekolah sesuai dengan karakteristik sekolah diharapkan mampu menjalankan fungsi dan peranan BP/BK di sekolah.

Ada dua metode assessment sebelum penyusunan kurikulum BK sekolah yaitu metode DCM dan metode ITP.

Metode ITP atau Tugas Inventory Perkembangan peserta didik dipilih oleh para konselor di sekolah sebagai assesment yang akan menjadi landasan dalam pembuatan program-program layanan BK selama satu tahun.

Metode ITP dipilih oleh konselor karena mempunyai kelebihan sebagai alat pendeteksi permasalahan perkembangan peserta didik.

Ada sebelas perkembangan peserta didik yang dapat dideteksi melalui assesment ITP yaitu 1) Landasan hidup religius, 2) Landasan perilaku estetis, 3) Kematangan emosional, 4) Kematangan intelektual, 5) Kesadaran tanggung jawab, 6) Peran sosial budaya, 7) Penerimaan diri dan pengembangannya, 8) Kemandirian perilaku ekonomi, 9) Wawasan dan persiapan ekonomi, 10) Kematangan hubungan dengan teman sebaya, serta 11) Persiapan diri untuk pernikahan dan keluarga. Bila salah satu perkembangan ini terganggu atau terhambat, maka proses pembelajaran yang dijalani pun akan terhambat pula.

Dalam layanan individu berupa penelusuran peminatan, konselor memberikan assesment peminatan yang dilakukan dengan pihak psikolog. Dan respon orang tua peserta didik atau peserta didiknya sendiri bermacam-macam, ada yang menerima, ada pula yang tetap bersikeras memasukkan anaknya ke jurusan yang tidak sesuai dengan hasil psikotest. Tentu saja, konselor memberikan penyuluhan dan informasi lengkap mengenai mengapa psikotest ini dilakukan dan apa dampaknya bila peserta didik tetap dimasukkan ke kelas yang tidak sesuai dengan hasil psikotest.

Selain itu, program layanan individu yang lain diberikan oleh konselor di masa pandemi ini sangat berarti untuk para peserta didik. Walau layanan dilakukan secara virtual (menggunakan aplikasi Google Class Room dan WAG), namun layanan ini cukup efektif dalam penanganan permasalahan peserta didik dalam belajar.

Permasalahan pembelajaran di masa pandemik ini di antaranya tingkat kejenuhan peserta dalam belajar virtual, kurang memahami materi pembelajran karena kurang interaksi dengan guru, stres yang dialami oleh peserta didik karena bertumpuknya tugas, hingga kesulitan peserta didik dalam mengisi kuota atau yang mempunyai HP tapi tidak mendukung beberapa aplikasi yang digunakan pembelajaran daring. Hal ini ditindaklanjuti dengan memberikan hasil layanan kepada guru mata pelajaran sehingga dapat memberikan solusi dalam hambatan pembelajaran daring.

Sayangnya, jumlah konselor tidak sebanding dengan jumlah peserta didik yang ada. Konselor yang ada dua orang, hal ini tentu saja tidak sebanding dengan jumlah peserta didik yang berjumlah 871. Karena idealnya satu konselor menangani 150 peserta didik. Sehingga penanganan masalah pembelajaran belum dapat dilakukan secara optimal.

Begitu pula dengan belum adanya alokasi waktu konselor masuk kelas untuk dapat melakukan pembelajaran tatap muka dengan peserta didik, menambah kurang optimalnya layanan BK. Sehingga pelayanan yang diberikan pada peserta didik dilakukan di luar jam kelas.

Walau bagaimana pun dengan keterbatasan yang terjadi di lapangan, konselor terus melakukan inovasi untuk tetap menjalankan fungsi dan peranannya sebagai penopang pembelajaran di sekolah.***

Penulis adalah mahasiswa BK IKIP Siliwangi.