Ke Arah Mana Imbas Euforia Puisi dan Literasi?

pp 1 1
Doddi Ahmad Fauji, (Foto: Dok. Pribadi).

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan
Apa artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan

DUA larik puisi WS Rendra yang mengakhiri Sajak Sebatang Lisong di atas, menjadi bahan renungan terus-menerus bagi saya, yang semula gemar bersajak tentang anggur dan rembulan. Dan renungan itu terasa makin mengental saat ini, di tengah euforia orang menyebut diri berliterasi atau memproduksi puisi, dan yang dengan mudah dibeundeul jadi buku. Lalu pekerjaan mengabarkan informasi, yang dulu dikerjakan oleh wartawan, kini siapapun bisa mengabarkan informasi lewat beranda sosmed. Celakanya, tidak semua tahu atau menjalankan regulasi atau etika pewartaan. Kode etik jurnalistik pun, bahkan kian marak dilanggar oleh para jurnalis industri peruasahaan pers (wartawan).

Hikmah dari laju euforia literasi dan puisi adalah makin masay benang yang kadung kusut. Kekeruhan dan simpang-siurnya persebaran ikon, huruf, gambar, video, dalam bentuk puisi, caci maki, ujaran kebencian, atau pencitraan diri, sedianya telah mendorong orang yang bertafakur, untuk mencari ruang hening permenungan dan bernalar dengan kejernihan sukma.

Di tengah euforia literasi dan puisi, para pedagang dan pemangku kebijakan sedang mengarah ke China, menyetujui China sebagai kawasan industri manufaktur kebutuhan hidup manusia. Perkakas dapur hingga mainan untuk anak-anak, akan didominasi oleh produk dengan label dagang Made in China. Termasuk Amerika di Era Clinton, mengadakan perjanjian tentang manufaktur dan daur ulang sampah. Amerika membuang sampah nonhayati (anorganik) ke China, dan China mendaurulangnya, lalu menjualnya ke manapun, dan paling mudah ya ke Indonesia, karena orang Indonesia menganut waham murah meriah.

Tahukah yèn zat radiasi yang over pada perkakas dapur, yang dibuat dari daur ulang itu, ikut memacu munculnya kanker atau gagal ginjal?

Frase ‘murah meriah’ memang terdengar indah. Dan, kini dengan waham murah meriah itu pula kian berseliweran produk ikon, simbol, huruf, imej yang mengandung zat penyebab kanker dan gagal ginjal, karena produk literasi macam puisi, prosa, karya ilmiah, buku, tampak lebih banyak merupakan hasil daur ulang. Puisi yang kini bertebaran misalnya, tidak lebih sublim dari saripati yang dikemas oleh kiyai Ronggowarsito, Amir Hamzah, atau Chairil Anwar. Atau prosa, yang meneror seperti Ziarah gubahan Iwan Simatupang, juga makin jarang.

Sebagaimana perkakas rumah tangga yang tampak indah dalam bentuk, desain, warna, dan dengan waham murah meriah itu, tampak pula pada produk literasi yang indah bentuknya, desainnya, genre-nya, juga dengan waham murah meriah.

Mau ke mana arah literasi dan puisi bangsa ini?

Sejatinya literasi puisi melahirkan semangat kontemplasi dan bukan hanya geliat aksi – reaksi. Artinya, harus lebih banyak membaca ikon dalam teksnya dan konteksnya, syariatnya, hakikatnya, dan implementasinya (makrifat dan tasauf). Namun yang nampak dari euforia literasi ini, adalah sisi selebrasi dan kurang bersungguh-sungguh dari sisi substansinya, lebih tampak pada urusan seremonial pencitraan tapi kurang memasuki penghayatan ritualnya, lebih indah pada bentuknya tapi kurang mendalam pada wilayah kesejatiannya, lebih banyak memproduksi daripada mencerna, sehingga yang bergelimang kini adalah permukaan literasi hasil daur ulang, yang bisa menyebabkan kanker sukma. ***

Doddi Ahmad Fauji lahir di Bandung pada 4 September 1970. Menulis puisi dengan sungguh-sungguh sejak kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, IKIP Bandung. Puisinya tersebar di berbagai media massa, dan diminta meredakturi rubrik sastra dan budaya di Koran Media Indonesia (1999 – 2001).