ZONALITERASI.ID – Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad, Prof. Aquarini Priyatna, mengatakan, sejumlah kendala kerap ditemui dalam pelaporan tindak kekerasan seksual dan perundungan. Itu terlihat antara lain dari rumitnya prosedur pelaporan hingga prosedur pelaporan yang tidak berpihak pada korban.
“Saya berharap ada mekanisme pelaporan yang baik di lingkungan kampus yang dapat menjamin semua pihak dapat terlindungi,” kata Prof. Aquarini, dalam webinar “Mari Kita Cegah Tindakan Kekerasan Seksual dan Perundungan (Bullying) di lingkungan Kampus” yang digelar secara virtual, Sabtu (27/11/2021).
Ia mengungkapkan, untuk menciptakan kampus aman dari tindak kekerasan seksual dan perundungan, perlu ada upaya bersama dari setiap elemen kampus. Semua pihak harus berkomitmen melakukan pencegahan dan tidak diam jika disinyalir ada tindak kekerasan seksual dan perundungan.
“Ini menjadi hak dan kewajiban semua orang dalam kampus untuk memastikan bahwa kampus itu aman dari segala macam perundungan dan kekerasan,” ujarnya.
Kepala Pusat Riset Gender dan Anak Unpad, Dr. Budiawati Supangkat, M.A., mengatakan, kekerasan seksual merupakan kejahatan yang dapat terjadi di mana saja, baik di lingkup publik maupun privat.
Lingkungan kampus, lanjutnya, sering dipersepsikan sebagai ruang aman, sehingga kekerasan yang terjadi kerap tersembunyi dan tidak terlaporkan. Pelakunya pun tidak dihukum setimpal. Akibatnya, korban mengalami trauma seumur hidup.
“Jika tidak ada mekanisme atau peraturan mengenai penanganan kekerasan seksual, hal tersebut akan membawa kesengsaraan dan ketidakadilan bagi korban,” katanya.
Peraturan Rektor
Budiawati meuturkan, sebelum lahirnya Permendikbud 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus, Unpad sudah lebih dahulu mengeluarkan Peraturan Rektor No. 16 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual di Lingkungan Unpad.
“Kita sebetulnya tidak tertinggal. Kita sudah menyiapkan amunisi untuk pencegahan terjadinya kekerasan seksual,” katanya.
Ia berharap, dengan adanya Permendikbud tersebut, penyempurnaan peraturan dan mekanisme di lingkungan Unpad dapat dilakukan.
Selain itu, sosialisasi mengenai responsif gender, perundungan, dan kekerasan seksual dapat terus dilakukan dengan sasaran mahasiswa, tenaga kependidikan, dosen, dan berbagai pihak terkait. Ini dilakukan mengingat tindak kejahatan tersebut dapat terjadi pada siapa saja.
“Yang rentan itu bukan hanya mahasiswa tetapi semua lini, bisa tenaga kependidikan, bisa juga para dosen, baik laki-laki maupun perempuan, maupun pihak-pihak terakit dengan Unpad,” ujarnya.
Perlu Kebersamaan
Pembicara lain, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad, Binahayati Rusyidi, S.Sos., MSW., Ph.D. mengatakan, sikap diam atau ketidakberpihakan seseorang dalam merespons kekerasan seksual sebenarnya menunjukkan bahwa ia menoleransi hal tersebut.
Untuk itu, kebersamaan diperlukan sebagai bentuk keadilan bagi korban sekaligus mencegah berkembangnya toleransi terhadap kekerasan seksual.
“Jadi saya pikir mengubah cara pandang kita mengenai kekerasan seksual itu merupakan suatu langkah awal yang mungkin bisa difasilitasi dengan adanya berbagai aturan dan implementasi kebijakan di level kampus dan juga kolaborasi dari kita semua. Jadi kita tidak bisa hanya menyerahkan ini kepada universitas tetapi juga semua tenaga kependidikan, dosen, mahasiswa, kita harus sama-sama bekerja untuk merespons masalah ini,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Dosen Fakultas Hukum Unpad, Dr. Widati Wulandari, S.H., M. Crim. Ia berpesan untuk tidak berdiam diri jika mengetahui ada tindak kekerasan.
“Komitmennya dari diri sendiri dulu saja. Kalau kita bukan korban, kita sebagai bystander tolong bantu dengan cara tidak diam,” ujar Dr. Widati. (des)***