ZONALITERASI.ID – Kekerasan seksual di kalangan mahasiswa sulit terjangkau hukum. Sebab, korban kekerasan seksual di kampus kebanyakan tidak berani melapor.
Pernyataan itu disampaikan psikolog, Hj. Listiyaningati, saat memaparkan materi “Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan”, di hadapan 2.102 calon mahasiswa peserta Program Pengenalan Universitas (PPU) Widyatama, Jumat, 26 Agustus 2022. PPU dilaksanakan melalui daring zoom meeting dan tatap muka.
“Perilaku kekeraan seksual umumnya melakukan tindakan-tindakannya melalui cara-cara penolestation, rape/perkosaan, voyeurism, ekshibisionisme, pornografi, dan prostisusi paksa,” kata Listiyaningati.
Ia menjelaskan, untuk penolestation pelaku melakukan tindakan menyentuh secara tidak senonoh atau memaksa menyentuh alat kelamin atau buah dada korban.
Lalu, rape/perkosaan berupa dimasukannya benda apapun ke dalam lubang apapun untuk kepuasan seksual. Sementara voyeurism yaitu melakukan tindakan melihat korban di berbagai tahap melepas pakaian dan ekshibisionisme berbentuk tindakan mempertontonkan alat kelamin.
Adapun untuk pornografi, pelaku memfilmkan atau merekam video anak secara tidak senonoh dan prostisusi paksa berupa pelibatan korban dalam prostitusi atas perintah orang dewasa.
“Dari berbagai kasus pelecehan maupun kekerasan seksual, potensi kejahatan tersebut, jika mengacu pada pelaku maka hal ini lebih banyak dilakukan oleh orang dewasa. Sedangkan korbannya, bisa anak oleh pelaku anak, anak oleh pelaku dewasa, dan korban dewasa oleh pelaku dewasa,” terangnya.
Listiyaningati mengingatkan kepada peserta PPU agar selalu waspada. Pasalnya, pelaku kekerasan seksual itu juga sering kali melakukan aksinya secara daring.
“Contohnya, berawal dari grooming secara online, di mana seseorang mengincar orang-orang yang secara psikis sedang galau di media sosial. Pelaku seolah bisa menjadi orang yang sangat peduli dan paling baik dan ujung-ujungnya melakukan pelecehan,” tuturnya.
Dikatakannya, dalam kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual, pelaku bahkan tak segan-segan mengancam korban dengan cara apapun.
“Salah satu kasus, misal pelaku meminta korban mengirimkan foto-foto syur. Lalu di suatu waktu pelaku menggunakan foto tersebut untuk mengancam korban dengan menyebarkannya,” ujarnya.
Listiyaningati menambahkan, menghadapi kemungkinan terjadinya masalah seperti ini, termasuk ancaman, maka korban bisa langsung melaporkannya kepada pihak yang berwajib. (des)***
Sumber: Universitas Widyatama