Kemajuan atau Pemajuan

Oleh Ipit Saefidier Dimyati

WhatsApp Image 2023 08 15 at 10.21.54
Ipit Saefidier Dimyati, Dosen Jurusan Teater ISBI Bandung, (Foto: Dok. Pribadi).

KETIKA dihadapkan pada kata “kemajuan” (kata benda) dan “pemajuan” (proses), saya selalu bertanya pada diri sendiri, apa yang menjadi kriteria bahwa sesuatu itu maju dan yang lainnya tidak maju?

Mungkin paling gampang menakar maju dan tidak maju itu adalah masalah pendapatan, karena hal itu bisa dihitung secara matematis. Tapi kemajuan saya pikir bukan hanya persoalan hitung menghitung, ada masalah kualitas yang semestinya jadi ukuran juga. Ya, karena masalah kualitas itu sulit untuk diukur, maka hitungan kualitatif itu sering kali diabaikan.

Pemajuan dapat terjadi karena adanya tinjauan terhadap hal-hal yang ada di sekeliling kita. Artinya, ketika kita melakukan perentangan jarak dengan situasi dan kondisi yang melingkupi kita, biasanya kita bisa melihat kelemahan-kelemahan yang awalnya tidak tampak.

Dengan melakukan perentangan jarak berarti kita mencoba mengajukan pertanyaan secara kritis terhadap situasi dan kondisi. Dari pertanyaan kritis yang kita ajukan itulah, maka kita bisa menemukan kelemahan-kelemahan (dan juga mungkin kelebihan atau kebaikan) situasi dan kondisi yang melingkupi kita tersebut.

Pertanyaan kritis yang diajukan merupakan cara kita mencari jalan terbaik untuk menutupi atau mengeliminir kelemahan tersebut. Saat jalan terbaik itu ditemukan, lalu ditawarkan pada orang lainnya, bisa jadi orang lain itu tidak menerimanya.

Ada berbagai alasan mengapa orang lain tidak menerimanya. Mereka tidak bisa menerimanya barangkali karena kita tidak bisa mengomunikasikannya secara baik atau secara sederhana, atau bisa juga karena mereka tidak berada dalam satu titik berdiri yang sama dengan kita, sehingga kita dengan orang lainnya memiliki perspektif yang berbeda.

Bisa pula orang lain itu melihat hal yang sama seperti kita, tapi karena mereka merasa jika situasi dan kondisi berubah, posisi yang mereka duduki akan terganggu. Mereka mendapat keuntungan dan memiliki privilege dengan situasi dan kondisi yang tidak berubah. Oleh karena itu, mereka berusaha mempertahankan status quo agar kenyamanan-kenyamanan yang telah didapatkannya bisa tetap dinikmati, malah kalau bisa semakin meningkat.

Kalau misalnya pandangan kritis kita terhadap situasi dan kondisi yang melingkupi kehidupan bersama itu diterima oleh masyarakat, dan akhirnya lambat laun mengubah paradigma yang lama, apakah artinya situasi dan kondisi yang baru tersebut menjadi lebih maju dibandingkan dengan yang sebelumnya?

Bila ditinjau dari dialektika hegelian tampaknya “iya”. Perubahan dalam pandangan Hegel karena tesis, yaitu kondisi atau situasi awal, dikritisi oleh lawannya, dan memunculkan pandangan yang bertolak belakang. Ini disebut antitesis. Meskipun antitesis itu bertolak belakang dengan tesis, namun pada tahap selanjutnya ada amalgamasi, yakni perpaduan keduanya yang saling melengkapi dan memperbaiki hal-hal yang telah ada, sehingga muncullah suatu kondisi dan situasi yang baru, kondisi dan situasi yang lebih baik dari sebelumnya. Ini disebut sintesis.

Kalau menurut saya pandangan serupa terlalu simplistis. Penyederhanaan. Hidup itu begitu kompleks, dan kita tak bisa memandangnya secara linear, berdasarkan hukum sebab akibat yang hanya searah. Mungkin kita bisa melihat situasi dan kondisi tertentu itu memiliki kelemahan-kelemahan, lalu mengajukan alternatif bagi perubahan. Namun bukan berarti perubahan yang kita tawarkan itu berarti pula sudah pasti kemajuan. Banyak aspek dan nuansa kehidupan yang tidak bisa kita teropong sepenuhnya. Mungkin saja alternatif-alternatif yang kita tawarkan itu memiliki dampak buruk bagi kehidupan di masa depan yang tidak atau belum bisa dilihat di saat ini.

Kritik terhadap situasi dan kondisi kehidupan yang melingkupi kita bukan berarti selalu berbuah kemajuan. Dia hanya bisa membuat kehidupan itu berubah. Namun bukan berarti kritik itu tidak diperlukan. Kritik itu perlu, sebab dengan adanya kritik kita bisa menjadi lebih sadar bahwa ada banyak alternatif yang bisa kita lihat dan bisa ambil untuk menuju perubahan, meskipun akhirnya perubahan itu tidak bisa memajukan.***

Ipit Saefidier Dimyati, Dosen Jurusan Teater ISBI Bandung.

Respon (165)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *