Oleh Suheryana
MEMPERHATIKAN kemarahan pemimpin kepada sekelompok orang yang dianggap lamban dalam memberikan pelayanan masyarakat. Begitu menggebu, menguasai permasalahan atau menganggap diri menguasai setiap detil permasalahan, menyela, suara keras, bahkan terkadang diselingi kata-kata yang maaf– kasar. Sepintas tampak ketegasan, wibawa, dan komitmen seorang pemimpin untuk memberi pelayanan terbaik.
TETAPI ada pelajaran penting.
Pertama, kemarahan membuat seorang pemimpin kehilangan kendali diri dan cenderung kehilangan akal jernih. Kata-katanya terbata-bata, terburu-buru, terlupakan, bahkan seringkali kalimat dan intonasi yang tidak jelas.
Kedua, banyak informasi yang hendak disampaikan staf terpotong, terputus, dan tidak lengkap sehingga tentu saja informasi yang disampaikan menjadi tidak berkata apa-apa. Sesuatu yang seharusnya menjadi dasar untuk memahami permasalahan dan dasar untuk merumuskan pemecahan masalah kehilangan kesempatan untuk didengar.
Ketiga, tentu jenis komunikasi ini adalah komunikasi emosional yang menyebabkan ketidakenakan pada salah satu pihak atau para pihak. Boleh jadi menumbuhkan dendam dan bibit-bibit kebencian. Suatu hal yang menghambat pencapaian sinergi.
Jadi, masih perlukah marah?***
Suheryana terlahir di desa tetapi cita-citanya aneh. Ingin menjadi penulis, penyair atau novelis. Setelah sepuluh tahun mengabdi sebagai PNS di Timor Timur, sekarang tinggal di Pangandaran melanjutkan kariernya sebagai PNS.,