ZONALITERASI.ID – Sejumlah kasus dan dugaan kekerasan seksual di perguruan tinggi masih terus mencuat. Padahal, kampus sepatutnya jadi lingkungan yang aman bagi mahasiswa dan civitas akademika secara keseluruhan.
Merespons kekerasan seksual di kampus, Kemendikbudristek merangkum langkah-langkah untuk tidak takut membantu korban kekerasan seksual.
Dikutip dari penelitian Zenny Rezania Dewantary dkk, (Saling Jaga Atas Pelecehan Seksual di Tempat Publik) yang dimuat dalam Journal of Community Environment dan Hollaback Jakarta, berikut rekomendasi Kemendikbudristek untuk membantu korban kekerasan seksual di perguruan tinggi:
Cara Membantu Korban Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
1. Kenali dan Gunakan Prinsip Membantu Korban
Prioritas penanganan kasus kekerasan seksual adalah pemulihan bagi korban sesuai kebutuhan, keamanan, dan kenyamanan. Sebab, penanganan kasus kekerasan seksual berorientasi pada korban sebagai pihak paling terdampak atas kekerasan yang terjadi.
Praktik ini berbeda dengan penanganan kasus pidana yang umumnya berorientasi ada menghukum pelaku. Karena itu, ada juga kasus kekerasan seksual yang tidak berakhir dengan melaporkan pelaku ke pihak berwajib, tetapi berfokus pada pemulihan kondisi korban. Jika ada proses menghukum pelaku, maka terjadi dalam rangkaian langkah untuk memprioritaskan pemulihan korban.
Persetujuan atas langkah yang diambil untuk memproses penanganan kasus kekerasan seksual diambil berdasarkan informasi. Korban perlu mendapat dan memahami informasi terkait risiko, konsekuensi, atau kemungkinan yang mungkin muncul atas proses penanganan kasus.
2. Kenali Pilihan Cara Intervensi Kekerasan Seksual 5D
Jika melihat kejadian, saksi kekerasan seksual bisa melakukan cara-cara intervensi yang disebut 5D, yakni ditegur langsung, dialihkan, delegasi, ditunda, dan didokumentasikan.
Bergantung konteks atau situasi saat kejadian, pelaku dapat ditegur langsung seperti “Berhenti!” atau alihkan perhatian seperti menghalangi pelaku agar menghentikan pelecehan atau tindak kekerasan lainnya terhadap korban.
Saksi juga bisa melakukan delegasi, contohnya seperti memanggil petugas keamanan terdekat, teman, atau orang lain di sekitar untuk ikut bantu menghentikan perbuatan pelaku.
Intervensi saksi juga dapat berbentuk penundaan dan dokumentasi. Jika menunda intervensi, saksi bisa menanyakan keadaan korban setelah kejadian usai.
Sementara itu, jika saksi merekam kejadian atau wajah pelaku, saksi tidak boleh mengedarkan atau memproses dokumentasi tersebut tanpa persetujuan korban. Pengalaman dilecehkan secara seksual merupakan pengalaman yang melemahkan dan traumatis bagi korban. Untuk itu, intervensi saksi harus berorientasi pada pemulihan korban dan tidak membahayakan keselamatan korban untuk kedua kalinya.
3. Jangan Salahkan Korban
Kenali prinsip tidak menyalahkan korban (victim blaming) saat mencoba bantu korban kekerasan seksual. Dengarkan tanpa menghakimi dan kembalikan lagi semua keputusan pada korban.
Pendengar hanya bisa membantu memberi saran dan pertimbangan, tetapi pendengar tidak berhak mengambilkan keputusan bagi korban. Jangan paksakan saran yang menurut pendengar baik karena paksaan adalah indikator kekerasan dalam bentuk lain pada korban. (des)***