Ketika Bahasa Tidak Bersifat Arbitrer

Oleh J.J. Rizal

perkembangan bahasa indonesia
Ilustrasi bahasa. (Foto: lombokpost)

SALAH SATU sifat bahasa adalah arbitrer. Arti arbitrer adalah  manasuka, suka-suka, atau sewenang-wenang. Hal ini bermakna bahwa bahasa setiap bangsa tidak dibentuk dari kesepakatan dengan bangsa lain. Setiap bangsa sudah memiliki konsensus tersendiri untuk melambangkan sesuatu dalam kosa kata mereka. Pandangan ini dipopulerkan oleh Ferdinand de Saussure, linguis asal Swiss yang menjadi pendiri aliran struktural kebahasaan.

Saussure mengemukakan dua sisi bahasa, yakni penanda dan petanda. Penanda adalah lambang bunyi berupa ucapan atau tulisan. Sedangkan petanda adalah konsep sesuatu atau benda yang dimaksud. Misalnya ketika kita menulis, mengucapkan, atau mendengar kata pohon (penanda), yang terdiri dari huruf p-o-h-o-n, dalam benak kita terbayang konsep sebuah benda yang memiliki akar dengan batang tegak atau memiliki cabang dan pucuknya berupa dedaunan hijau. Konsep benda tersebut dalam benak kita adalah petanda.

Penanda berupa tulisan pohon pada petanda benda tersebut hanya berlaku bagi orang Indonesia. Ternyata bagi orang Inggris penandanya bukan pohon, melainkan tree. Bagi orang Arab penandanya adalah syajaratun. Penanda yang berbeda-beda tetapi merujuk pada petanda yang sama merupakan bukti bahwa bahasa itu bersifat arbitrer.

Ciri khas arbitrer adalah ketidakmampuan menjelaskan alasan alamiah mengapa orang Indonesia harus menyebut pohon, orang Inggris menyebut dengan kata tree, dan orang Arab menyebutnya sebagai syajaratun. Sifat arbitrer inilah yang tidak bisa menjelaskan alasan asal mula perbedaan pemilihan penanda. Maka disebutlah sifat bahasa sebagai arbitrer,  manasuka, suka-suka, atau sewenang-wenang.

Akan tetapi adakalanya suatu kata tidak bersifat arbitrer. Hal itu terjadi pada onomatope, yaitu ‘peniruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan itu’. (Kridalaksana; dalam Kamus Linguistik: 2008)  Misalnya penanda c-e-c-a-k. Kata tersebut merujuk kepada petanda seekor hewan melata di dinding berukuran kecil. Disebut cecak karena bunyinya “cek cak”. Begitu pula dengan t-o-k-e-k. Hewan melata di dinding yang berukuran lebih besar daripada cecak itu disebut tokek karena bersuara “tok kek”. Demikian pula halnya dengan kata lain seperti jangkrik, tekukur, bangkong (Sunda), maung (Sunda), gong, kentongan, drum (alat musik).

Ada alasan alamiah yang dapat dijelaskan mengapa hewan atau benda tersebut dinamakan demikian, yaitu karena bunyinya yang menyerupai sehingga lahirlah nama (baca: penanda) tersebut. Contoh-contoh itu memang hanya berlaku di Indonesia tetapi sudah cukup memberikan alasan bahwa tidak selamanya bahasa bersifat arbitrer.

Ada contoh kata yang tidak bersifat arbitrer yang cakupannya mendunia. Kata itu adalah bom. Hampir semua orang seluruh belahan dunia menyebut benda yang dapat meledak dengan dahsyat itu adalah bom karena bunyinya. Orang Asia menyebutnya bom. Orang Amerika juga menyebutnya bomb. Begitu pula dengan warga benua lain hampir semuanya menyebut benda itu sebagai bom atau bomb. Tidak sulit untuk menjelaskan alasan alamiahnya. Bunyi benda tersebut jika meledak digambarkan dengan bunyi “bom”. Kata ‘bom’ atau ‘bomb’ adalah contoh ketidakarbitreran bahasa yang berlaku di seluruh dunia.

Onomatope adalah kata yang dibentuk dari tiruan bunyi, seperti bunyi benda, binatang, atau bunyi yang dikeluarkan oleh manusia. Onomatope mencerminkan relasi alamiah antara penanda dan petanda. Berbeda dengan kearbitreran bahasa yang tidak dapat dijelaskan alasan ilmiah munculnya suatu kata, maka onomatope menunjukkan korelasi munculnya suatu kata dan alasan ilmiahnya. Onomatope menjadi bukti bahwa bahasa tidak selamanya bersifat arbitrer. ***

J.J. Rizal, Kepala SMP Negeri 3 Satu Atap Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.