ZONALITERASI.ID – Ubaidillah Fatawi, Kepala SMA Bumi Cendekia, Sleman, Yogyakarta, punya gagasan unik dalam mengajar. Ia menggagas pendidikan alternatif membebaskan.
Ubed, panggilan Ubaidillah Fatawi, mengenalkan pendidikan berbasis humanis dengan pengajar yang tidak kaku layaknya di sekolah umum.
“Di sini adalah ruang ekspresi kami, ruang eksperimentasi kami, ruang belajar kami untuk mengembangkan satu konsep pendidikan yang humanis, kontekstual tapi juga memberdayakan anak” ujar pengajar berusia 30 tahun ini, dilansir dari laman LPDP Kemenkeu, Senin, 23 Desember 2024.
Perjalanan Ubed Menempuh Pendidikan
Ubed adalah pemuda asal dari Salatiga. Ia dibesarkan oleh ayah yang merupakan guru honorer dan ibu berjualan di pasar.
Setiap sore hari, kedua orang tua Ubed aktif mengajar ngaji anak-anak di desanya. Saat kecil Ubed sering diajak ayahnya ke pengajian atau sekolah.
Seiring berjalannya waktu, hobi mengajar kedua orang tua mengalir dalam darah Ubed. Keinginan menjadi pengajar dirasakan Ubed saat menempuh SMK.
Saat itu, Ubed melihat banyak orang tua dari teman-temannya yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Mereka tumbuh tanpa sosok orang tua dan tak bisa melanjutkan pendidikan tinggi.
Ubed sadar dirinya cukup beruntung dibandingkan yang lain. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di salah satu kampus di Yogyakarta. Ia juga berhasil mendapatkan beasiswa Bidikmisi.
Jurusan yang dipilih Ubed adalah Teknologi Pendidikan. Dia merasa jurusan tersebut dapat memberinya pengetahuan soal proses belajar dan mengajar.
“Di dalam teori-teori Barat itu tidak memasukkan keluarga dalam instrumen pendidikan kita. Tapi dalam konteks Tagore dan Ki Hadjar Dewantara misalnya, yang hidup dalam budaya Timur, mereka memasukkan keluarga sebagai bagian dari proses pengasuhan pendidikan anak,” tutur Ubed.
Lanjut S2 lewat Beasiswa LPDP
Atas keresahannya, Ubed yang saat itu masih mahasiswa mencoba ikut berbagai komunitas yang bergerak di bidang pendidikan. Ia sempat mengajar di Sanggar Anak Alam (Salam), sekolah non-formal yang mempunyai kurikulum tak kaku.
Di sana, Ubed dapat ilmu baru bahwa pengajaran tak melulu harus di kelas dan terbatas. Di Salam, anak-anak diberikan hak untuk mengeksplorasi potensinya dan diajarkan kemandirian dalam berpikir dan bersikap.
Keinginannya dalam mencari tahu metode mengajar yang baik semakin besar. Akhirnya Ubed melanjutkan S2 dengan jurusan di bidang pendidikan lewat beasiswa Lembaga Pengelola Dana Keuangan (LPDP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“Saat mendapat LPDP, saya memilih program Tetap Indonesia karena saya merasa masih butuh waktu lebih untuk berkontribusi pada Indonesia. Saya merasa bahwa ketika saya mengambil S2 di dalam negeri, saya masih bisa terkoneksi dengan komunitas saya, untuk berkontribusi pada komunitas saya. Sehingga apa yang saya lakukan itu tidak putus,” ucapnya.
Ubed cukup kritis soal sistem pendidikan di Indonesia. Menurutnya, pendidikan di Indonesia perlu mengacu ke Timur di mana orang tua terlibat juga dalam proses pendidikan.
“Waktu wawancara beasiswa, saya dianggap menentang paradigma arus utama soal pendidikan di negeri ini. Namun, saya berupaya menjelaskan gagasan dengan tenang tanpa tersulut emosi,” ucapnya.
“Sekarang kita lihat dengan proses pendidikan kita kayak gini, dalam 20 sampai 30 tahun kita begini. Apa hasilnya? Dan saya percaya bahwa kita jangan-jangan itu salah kiblat. Kita terlalu banyak berkiblat pada teori-teori Barat,” sambung Ubed.
Bertekad Wujudkan Pendidikan Eksklusif
Selesai S2, Ubed mulai mengajar di Yayasan Bumi Cendekia. Lembaga tersebut mempunyai sistem pendidikan yang mengintegrasikan pendekatan alternatif berbasis pesantren.
Di Yayasan Bumi Cendekia, Ubed mengajar siswa SMP dan SMA dengan jumlah siswa sebanyak 48 orang. Pada 2023, Ubed kemudian dipercaya sebagai kepala sekolah di sana.
Ubed pun mengenalkan program inovasi yang merupakan hasil dari riset. Ia mengajak siswa untuk menjawab pertanyaan besar soal tujuan hidup mereka.
Tak hanya itu, Ubed mengenalkan program Live In di mana siswa tinggal di lingkungan yang konservatif. Gunanya untuk memperluas wawasan dan empati.
Siswa diberikan kepercayaan untuk mengelola program di sana. Hal ini dilakukan untuk membangun rasa tanggung jawab dan kemandirian.
Kebijakan pendidikan di Yayasan Bumi Cendekia pun sangat fleksibel. Siswa diberikan waktu tidur siang jika kelelahan. Namun, mereka harus tetap bisa menyusun jadwal yang manusiawi.
“Kita tidak butuh pendidikan yang seragam, tapi pendidikan yang memberdayakan,” pungkas Ubed. (des)***