DALAM riuhnya zaman yang kerap membingungkan arah, kata-kata Buya Hamka hadir seperti lentera yang menuntun jiwa. Ia bukan sekadar ulama dan sastrawan, melainkan penafsir kehidupan yang tajam dan penuh kasih. Melalui petuahnya, kita diajak merenungi makna hidup, cinta, perjuangan, dan iman dengan cara yang lembut namun menggugah.
Buya Hamka mengingatkan bahwa manusia berasal dari tanah, makan hasil tanah, berdiri di atas tanah, dan akan kembali ke tanah. Maka, mengapa bersikap seolah-olah berasal dari langit? Petuah ini mengajak kita untuk rendah hati, menyadari asal-usul, dan tidak terjebak dalam kesombongan yang semu. Ia juga menegaskan bahwa salah satu bentuk pengkerdilan paling kejam adalah ketika pikiran cemerlang tunduk pada tubuh yang malas. Istirahat sebelum lelah adalah bentuk kemunduran yang halus namun berbahaya.
Dalam menghadapi hidup, Hamka menekankan pentingnya keberanian. Jangan takut jatuh, karena hanya mereka yang memanjatlah yang berisiko jatuh. Jangan takut gagal, sebab kegagalan adalah hak istimewa bagi mereka yang berani melangkah. Kesalahan bukanlah musuh, melainkan guru yang mengantar kita pada pengetahuan dan jalan yang benar.
Ia juga menyinggung tentang waktu—bahwa waktu terbaik untuk berbuat baik adalah sekarang. Jangan menjadi tua yang menyesali masa muda yang terbuang. Semangat harus dibesarkan, keyakinan harus diteguhkan, karena masa depan adalah ruang harapan yang luas. Hidup bukan sekadar hidup, sebab di rimba pun makhluk hidup. Kerja bukan sekadar kerja, karena kerbau di sawah pun bekerja. Maka, hidup dan kerja harus bermakna.
Cinta, bagi Hamka, bukanlah kelemahan. Cinta membangkitkan kekuatan, menghembuskan kegagahan, dan membangkitkan semangat. Ia adalah perang rohani yang menentukan apakah jiwa kita menjadi terang atau tenggelam dalam putus asa. Cinta yang sejati tidak tumbuh begitu saja, melainkan melalui pengorbanan, keikhlasan, dan pemahaman.
Hamka juga mengajak kita mengenal diri sendiri sebelum mengenal orang lain. Sebab, mengenali diri adalah pekerjaan yang paling sulit namun paling penting. Ia menegaskan bahwa pribadi yang berguna adalah mereka yang percaya pada kekuatan diri sendiri, yang tahu posisi dan batas dirinya, dan yang tidak membiarkan emosi mengalahkan kecerdasan.
Terakhir, ia mengingatkan bahwa saat kita lahir, kita menangis dan orang lain tertawa. Maka, berjuanglah agar saat kita mati, orang lain menangis dan kita tersenyum. Hidup yang bermakna adalah hidup yang memberi, bukan sekadar menerima. Keutamaan adalah seni membahagiakan diri dengan membahagiakan orang lain.
Dalam setiap kata Buya Hamka, tersimpan cahaya yang tak lekang oleh waktu. Ia mengajak kita untuk hidup dengan kesadaran, mencinta dengan keberanian, dan berjuang dengan harapan. Sebuah warisan jiwa yang patut kita genggam erat dalam perjalanan hidup ini. ***
Didin Tulus, penggiat buku, tinggal di Cimahi.





