Oleh Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd.
NATION and Character Building yang ditegaskan Bung Karno dalam membangun bangsa ini adalah hal yang amat filosofis dan menyangkut pengembangan esensi pembangunan sumber daya manusia. Pembangunan politik, ekonomi, hukum, kemananan serta penguasaan sains dan teknologi harus menyatu dengan pembangunan karakter manusia sebagai pelaku dari politik, ekonomi, hukum, dan pengembang serta pengguna sains dan teknologi, agar berujung pada kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia.
Pembangunan karakter yang pada saat ini menjadi salah satu perhatian kuat Kemendikbudristek, harus disambut baik dan dirumuskan langkah-langkah sistematik dan komprehensif. Pendidikan karakter harus dikembangkan dalam bingkai utuh Sistem Pendidikan Nasional sebagai rujukan normatif, dirumuskan dalam sebuah kerangka pikir utuh, yang dalam tulisan ini dirumuskan ke dalam sembilan ayat kerangka pikir pendidikan karakter dalam bingkai Sisdiknas.
Pertama, karakter bangsa bukan agregasi karakter perorangan, karena karakter bangsa harus terwujud dalam rasa kebangsaaan yang kuat dalam konteks kultur yang beragam. Karakter bangsa mengandung perekat kultural, yang harus terwujud dalam kesadaran kultural (cultural awareness) dan kecerdasan kultural (cultural intelligence) setiap warga negara. Karakter menyangkut perilaku yang amat luas karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kerja keras, kejujuran, displin mutu, estetika, komitmen, dan rasa kebangsaan yang kuat. Perlu dirumuskan esensi nilai-nilai yang terkandung dalam makna karakter yang berakar pada filosofi dan kultur bangsa Indonesia dalam konteks kehidupan antarbangsa.
Kedua, pendidikan pengembangan karakter adalah sebuah proses berkelanjutan dan tak pernah berakhir (never ending process) selama sebuah bangsa ada dan ingin tetap eksis. Pendidikan karakter harus menjadi bahagian terpadu dari pendidikan alih generasi. Pendidikan adalah persoalan kemanusiaan yang harus dihampiri dari perkembangan manusia itu sendiri. Oleh karena itu perlu diketahui dan dirumuskan secara utuh sosok generasi manusia Indonesia masa depan. Riset komprehensif perlu dilakukan untuk merumuskan sosok manusia Indonesia masa depan sebagai landasan pendidikan dan pengembangan karakter bangsa. Riset dimaksud mesti berakar pada filosofi dan nilai-nilai kulutral bangsa Indonesia dalam konteks kehidupan antarbangsa serta perkembangan sains dan teknologi.
Ketiga, Pasal 1 (3) dan Pasal 3 UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas adalah landasan legal formal akan keharusan membangun karakter bangsa melalui upaya pendidikan. Ada tiga ranah tujuan pendidikan yang dapat diinferensi dari makna yang terkandung dalam pasal dan ayat dimaksud, yaitu:
1) watak dan peradaban bangsa yang bermartabat yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan agama sebagai tujuan eksistensial pendidikan;
2) melandasi pencerdasan kehidupan bangsa sebagai tujuan kolektif yang di dalamnya mengandung kecerdasan kultural, karena kecerdasan kehidupan bangsa bukanlah agregasi kecerdasan perorangan atau individual;
3) melalui pengembangan potensi peserta didik sebagai tujuan individual.
Tiga ranah tujuan ini harus dicapai secara utuh melalui proses pendidikan dalam berbagai jalur dan jenjang. Proses pendidikan, yang secara mikro terwujud dalam proses pembelajaran, harus dibangun sebagai sebuah proses transaksi kultural yang harus mengembangkan karakter sebagai bahagian yang terintegrasi dari peng ambangan sains, teknologi dan seni, serta tidak terjebak pada proses pendidikan di tingkat tujuan individual.
Keempat, proses pembelajaran sebagai wahana pendidikan dan pengembangan karakter yang tak terpisahkan dari pengembangan kemampuan sains, teknologi, dan seni telah dirumuskan secara amat bagus sebagai landasan legal pengembangan pembelajaran dalam Pasal 1 (1) UU No. 20/2003. Yang belum terjadi saat ini adalah pemaknaan secara tepat dan utuh dari pasal ayat dimaksud yang mengiringi kebijakan dan praktek penyelenggaraan pendidikan secara utuh pula . Pendidikan tingkat individual yang pada saat ini mendominasi sistem penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air perlu direformasi dan direvitasiliasi sehingga menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dan bahkan harus menjadi wahana utama bagi pendidikan dan pengembangan karakter. Proses pembelajaran perlu dikembalikan kepada khitahnya sebagai proses mendidik.
Kelima, proses pembelajaran yang mendidik sebagai wahana pendidikan karakter, perlu dibangun atas makna yang terkandung dalam pasal-pasal dan ayat yang disebutkan, dan secara konsisten menjadi landasan dan kebijakan penyelenggaraan pembelajaran, termasuk kurikulum dan sistem manajemen . Ilmu mendidik dan ilmu pendidikan yang dikembangkan para ahli pendidikan di LPTK, (dulu IKIP dan kini sudah menjadi Universitas), dalam lima dekade terakhir di Republik ini dirasa tetap relevan dengan kepentingan pendidikan karakter serta pemaknaan dan perumusan regulasi dan kebijakan pendidikan . Perlu reposisi dan reinvensi ilmu mendidik dan pendidikan di dalam pendidikan karakter dan di dalam melahirkan regulasi-regulasi dan kebijakan pendidikan, dengan dukungan political will, yang pada saat ini keberadaan dan peran ilmu pendidikan sudah banyak dilupakan. Perlu revitalisasi LPTK dengan menempatkan penguatan ilmu pendidikan sebagai ilmu menjadi salah satu fokus utama dari revitalisasi itu.
Keenam, proses pendidikan karakter akan melibatkan ragam aspek perkembangan peserta didik, baik kognitif, konatif, afektif, maupun psikomotorik sebagai suatu keutuhan (holistik) dalam konteks kehidupan kultural . Proses pembelajaran yang membangun karakter tidak bisa sebagai proses linier layaknya dalam pembelajaran kebanyakan bidang studi yang bersifat transformasi informasi, walaupun sesungguhnya itu keliru, tapi tidak bisa juga berwujud menjadi sebuah mata pelajaran “pendidikan karakter’ yang diajarkan sebagai sebuah bidang studi. Karakter tidak bisa dibentuk dalam perilaku instan yang bisa di-olimpiadekan. Pengembangan karakter harus menyatu dalam proses pembelajaran yang mendidik, disadari oleh guru sebagai tujuan pendidikan, dikembangkan dalam suasana pembelajaran yang transaksional dan bukan instruksional, dan dilandasi pemahaman secara mendalam terhadap perkembangan peserta didik. Suasana pembelajaran ini akan menumbuhkan nurturan effect pembelajaran yang di dalamnya termasuk pengembangan karakter, soft skills dan sejenisnya seiring dengan pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan dalam pembelajaran itu. Inilah sesungguhnya esensi dari kompetensi dan kinerja guru profesional yang dalam pelaksanaannya harus didukung oleh kebijakan yang tepat tentang pembelajaran. Pembelajaran dibangun sebagai proses kultural, dan pendidik/guru adalah “ perekayasa ” kultur pembelajaran dan sekolah. Perlu dikembangkan kultur sekolah sebagai ekologi perkembangan peserta didik dengan segala perangkat pendukungnya.
Ketujuh, sekolah sebagai lingkungan pembudayaan peserta didik dan guru sebagai “perekayasa” kultur sekolah tidak terlepas dari regulasi, kebijakan, dan birokrasi. Kebijakan dan birokrasi harus ditata dan disiapkan untuk mendukung terwujudnya pendidikan karakter melalui pengembangan kultur pembelajaran dan sekolah sebagai ekologi perkembangan peserta didik. Perlu reformasi mind set para birokrat pendidikan, di tingkat pusat maupun daerah, sehingga mampu melihat dan memposisikan pendidikan sebagai proses membangun karakter, membangun kutur sekolah secara waras, dan mengubah perilaku birokrasi atas dasar pemahaman secara benar tentang esensi pendidikan. Reformasi mind set ini perlu didukung oleh political will yang kuat dari Pemerintah Pusat dan Daerah, dan memposisikan pendidikan bukan sebagai proses birokratik dan administratif semata yang bisa membuat pendidikan bergeser menjadi ranah dan beban politik daripada sebagai layanan profesional yang sejati. Guru perlu dibina menjadi penyelenggara layanan profesional sejati, yang tanggung jawab utamanya ada di Pemerintah daerah, dan para calon guru harus dididik dengan landasan keilmuan pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu yang kokoh yang tanggung jawab utamanya ada di LPTK.
Kedelapan, pendidikan karakter adalah pendidikan sepanjang hayat, sebagai proses perkembangan ke arah manusia kaafah. Oleh karena itu pendidikan karakter memerlukan keteladan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa. Periode yang paling sensitif dan menetukan adalah pendidikan dalam keluarga yang menjadi tanggung jawab orang tua. Pola asuh atau parenting style adalah salah satu faktor yang secara signifikan turut membentuk karakter anak. Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan utama dan pertama bagi anak, yang tidak bisa digantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Oleh karena itu pendidikan dalam keluarga, untuk membangun sebuah community of learner tentang pendidikan anak , perlu menjadi sebuah kebijakan pendidikan dalam upaya membangun karakter bangsa secara berkelanjutan.
Kesembilan, pendidikan karakter akan harus bersifat multilevel dan multichannel karena tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh sekolah. Pembentukan karakter perlu keteladanan , perilaku nyata dalam seting kehidupan otentik dan tidak bisa dibangun secara instan. Oleh karena itu pendidikan karakter harus menjadi sebuah gerakan moral yang bersifat holistik, melibatkan berbagai pihak dan jalur, dan berlangsung dalam seting kehidupan alamiah. Namun, yang harus dihindari jangan sampai tersesat menjadi gerakan dan ajang politik yang pada akhirnya hanya akan membentuk perilaku-perilaku formalistik – pragmatis yang berorientasi kepada asas manfaat sesaat, yang justru akan semakin merusak karakter dan martabat bangsa . ***
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Sumber: Sunaryokartadinata.com