Menengok Aktivitas Keseharian Mahasiswa Jatinangor (1, Bersambung)

FOTO NG 6
Ilustrasi, (Foto: Tribunnews.com).

ZONALITERASI.ID – Sejak akhir 1970-an, di kawasan Jatinangor berdiri berbagai perguruan tinggi (PT), seperti Insitur Manajemen Kopersi Indonesia (Ikopin), Universitas Panddjaran (Unpad), Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Bersamaan dengan berdirinya kampus-kampus itu, kawasan ini didatangi mahasiswa dari berbagai provinsi di Indonesia. Dan, seiring dengan datangnya ribuan mahasiswa di kawasan ini, warung makan pun berdiri bak jamur di musim hujan. Berikut ini potret keseharian mahasiswa yang menempuh pendidikan di kawasan Jatinangor.

Hari masih pagi, baru menunjukkan pukul 06.30. Kendati hari masih diselimuti embun, namun aktivitas di warung makan Nu Sasari, di Jalan Caringin, Desa Cikeruh, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, mulai menggeliat. Warung yang terlihat sederhana ini mulai didatangi pelanggan setia. Tentu saja, pelanggan yang datang ke warung makan ini didominasi kalangan mahasiswa.

Seakan tak canggung lagi, sesaat mereka datang ke warung makan itu, tanpa ba bi bu, langsung mengambil piring, menciduk nasi, dan memilih menu-menu makanan yang terpajang di etalase warung.

Terlihat sangat familier. Pemilik warung, pasangan suami istri Ade (45) dan Tuti (43), memberi kebebasan kepada mahasiswa-mahasiswa itu untuk memilih menu yang mereka sukai.

Salah satu konsumen warung makan Nu Sasari, Saeful Nugraha (23), juga menjadi bagian dari aktivitas yang berlangsung di warung itu. Mahasiswa Fakultas Sastra Unpad yang berasal dari Ciamis ini, terlihat sangat lahap menyantap makanan.

“Saya kos di daerah Caringin. Saya memang biasa sarapan, makan siang, dan makan malam di warung ini.Sudah langganan. Makanannya enak-enak,” kata Saeful, kepada Zonaliterasi.id, di sela-sela melahap sarapan pagi, baru-baru ini.

Ternyata, setelah ditelusuri lebih jauh, mahasiwa berperawakan tinggi dan besar ini, sudah menjadi langganan setia warung itu sejak empat tahun lalu. Bahkan saking sudah sedemikian dekatnya hubungan antara Saeful dan pemilik warung, Ade dan Tuti, biasa menyapa Saeful dengan sebutan cep.

“Cep Saeful mah memang langganan setia kami. Dia mah orangnya baik, tidak macam-macam. Bayar makanan tak pernah macet. Crung-creng …,” kata pemilik warung, Tuti, sembari tersenyum.

Berdasarkan penuturan Tuti, sejak beroperasi tujuh tahuh lalu, warung nasi Nu Sasari tidak kaku saat memperlakukan pelanggan. Selain menyediakan fasilitas makan dengan bayaran crung-creng alias bayar langsung setelah makan, warung itu juga memperbolehkan pelanggan untuk membayar dengan sistem nganjuk, bayar mingguan dan bulanan.

“Kami merasakan bagaimana kesulitan mahasiswa mengatur keuangan. Bagi mahasiswa yang memiliki kantong tebal, mungkin cara-cara membayar makan dengan sistem mingguan atau bulanan tak pernah mereka rasakan. Namun, bagi sebagian mahasiswa lainnya, makan di warung dengan sistem nganjuk menjadi pilihan yang sulit dielakkan,” ujar Tuti.

Disebutkan Tuti, karena saling percaya yang dijalin antara dia dengan para pelanggan, dirinya tak pernah merasa dirugikan dengan diberlakukannya sistem nganjuk di warung itu.

“Bagi yang nganjuk sistem bulanan misalnya, mereka selalu tepat membayar utang setiap awal bulan. Rata-rata mereka membayar utang antara Rp. 500 ribu sampai Rp. 1  juta,” tutur Tuti. (dede suherlan)***

Respon (939)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *