Oleh Ipah Latipah, M.Pd.
Terima kasihku kuucapkan
pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna selalu dilimpahkan
untuk bekalku nanti
Setiap hariku dibimbingnya
agar tumbuhlah bakatku
kan kuingat selalu nasihat guruku
Trima kasihku ucapkan
PADA sebagian orang yang pernah tahu dan hapal lagu tersebut, hampir tidak lupa dengan lirik lagu yang kerapkali dinyanyikan saat perpisahan sekolah atau saat peringatan hari guru. Lagu berjudul Terima Kasihku ciptaan Sri Widodo memang mudah diingat dan dilafalkan serta kata-katanya sederhana namun menyiratkan makna mendalam tentang sebuah penghargaan terhadap jasa dan kebaikan seorang guru. Dulu, guru menempati kedudukan terhormat, dihargai, mulia dan dimuliakan. Guru dijadikan panutan, segala kata-kata dan nasihatnya diyakini dan dipercaya kebenarannya. Sehingga muncullah slogan GURU = Digugu, Ditiru.
Guru merupakan salah satu sumber daya yang dapat mengokohkan dan meningkatkan kemajuan pembangunan nasional. Bahkan dalam proses pengajaran dan pendidikan (ta’lim= istilah dalam bahasa Arab) yang dilakukan oleh guru selayaknya sampai menyentuh ranah pembinaan intelektual, pemberian ilmu yang mendorong munculnya perbuatan yang bermanfaat sehingga peserta didik (muta’allim) menjadi teladan dalam perkataan dan perbuatan. Tujuan hakiki dari pengajaran dan pendidikan menurut Dedeng Rosidin (2003, hlm.112) yaitu agar ilmu yang disampaikan bermanfaat, melahirkan amal shalih, memberi petunjuk ke jalan kebahagiaan dunia akhirat untuk mencapai rida Allah. Betapa besarnya tanggung jawab dan peran seorang guru dalam pembentukan kualitas sumber daya manusia sekaligus menunjukkan bahwa betapa tingginya kedudukan seorang guru di antara profesi-profesi lainnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, sejalan dengan banyaknya perubahan tatanan masyarakat, kini sikap hormat atau takzim terhadap seorang guru sudah mulai berkurang. Bahkan berganti dengan mulai bermunculannya sikap dan perilaku merendahkan dan melecehkan guru. Guru bukan sekadar tidak dihormati, tidak dihargai, tidak didengarkan, dan tidak dipatuhi bahkan guru menjadi sasaran arogansi orang tua siswa yang tidak setuju dengan tindakan guru saat menegur dan mendidik anaknya di sekolah.
Ahmad Budi Cahyono, guru kesenian SMAN 1 Torju, Kabupaten Sampang yang tewas setelah dipukul muridnya ternyata masih berstatus guru honorer (guru tidak tetap). (2018, Bangka-tribunnews).
Dilansir dari Tribun Manado, nahas menimpa kepala sekolah SMP 4 Lolak, Astri Tampi (57), warga Desa Labuan Uki, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolmong. Ia telah dianiaya oleh DP alias Mart (41). Aksi penganiayaan tersebut tidak dilakukan oleh siswa, melainkan oleh orang tua siswa pada Selasa, 13 Februari 2018.
Gowa – Astia, guru SD Pa’bangngiang, Somba Opu, Gowa, Sulsel, dianiaya keluarga orang tua murid yakni kakak beradik yang tak terima siswa kelas V SD dihukum. Penganiayaan dilakukan pelaku berinisial NV dan APR di ruang kelas. (2019, News.detik.com).
Kasus-kasus penganiayaan tersebut menambah deret panjang perilaku pelecehan terhadap profesi guru dari tahun ke tahun. Serta menunjukkan semakin menurunnya tingkat kepercayaan orang tua terhadap kebijakan sekolah. Hal yang cukup miris, jika orang tua siswa saja sudah enggan menghargai guru, apalagi siswa-siswanya. Jika orang tua saja tidak mampu bekerja sama dengan pendidik di sekolah, maka akan sulit menyempurnakan pendidikan para generasi bangsa ini.
Banyaknya kasus pelecehan dan penganiayaan guru baik oleh siswa maupun orang tua siswa, memunculkan desakan dari beragam pihak untuk kembali menguatkan dan menerapkan perlindungan terhadap guru dan profesi guru melalui payung hukum dan legalitas formal perundang-undangan serta komitmen terhadap penerapan hukumnya. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 7 ayat (1) huruf h, mengamanatkan bahwa guru harus memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (Setneg RI, 2005). Selanjutnya dijelaskan bahwa perlindungan terhadap guru meliputi: perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan hak dan kekayaan intelektual.
Kendatipun terlah diatur secara jelas dalam perundang-undangan terkait perlindungan terhadap profesi guru, namun berdasarkan data empiris, perlindungan terhadap guru masih dinilai lemah. Banyak guru yang ketika menghadapi masalah terkait profesinya, mesti berjuang sendiri tidak mendapatkan upaya bantuan yang nyata. Untuk itu, upaya perlindungan terhadap guru menjadi mutlak diperjuangkan, dan organisasi yang menaungi profesi guru pun perlu memberikan kontribusi nyata dalam perlindungan terhadap guru agar guru dapat bekerja secara aman, nyaman, efektif dan optimal.
Mari kita kembalikan profesi guru pada posisi terhormat sebagai pembangun peradaban terbaik bangsa. Imam Az-Zarnuji (a.b. Abdurrahman Azzam, 2019: 65) mengatakan bahwa seorang penuntut ilmu tidak akan memperoleh ilmu, dan tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu itu kecuali dengan menakzimkan ilmu dan para ahlinya; juga memuliakan dan menghormati para ustadz (guru). Terdapat sebuah syair (Imam Az-Zarnuji, 2019:69) yang melukiskan apresiasi yang baik terhadap sosok guru:
Sesungguhnya guru dan dokter itu,
Keduanya tidak akan memberikan nasihat jika tak dihormati
Tahanlah sakitmmu jika kamu kasar terhadap dokter
Dan nikmatilah kebodohanmu jika kamu kasar terhadap guru.***
Referensi:
Dedeng Rosidin. (2005). Akar-Akar Pendidikan dalam Al Quran dan Al Hadits. Bandung: Pustaka Umat.
Imam Az-Zarnuji (a.b Abdurrahman Azzam). (2019). Ta’Limul Muta’allim, Pentingnya Adab Sebelum Ilmu.Solo: Aqwam.
Setneg RI (Sekretariat Negara Republik Indonesia). (2005).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
https://news.detik.com/berita/d-4694290/lindungi-murid-guru-sd-di-gowa-malah-dianiaya-keluarga-ortu-di-kelas. (2019).
https://bangka.tribunnews.com/2018/02/14/5-kasus-heboh-penganiayaan-guru-meregang-nyawa-digebuk-hingga-dihantam-pakai-kursi. (2019).
Penulis adalah Guru BK SMPN 1 Batujajar, Kabupaten Bandung Barat.