MENGENANG Pramoedya Ananta Toer berarti mengingat kembali bagaimana kata-kata mampu menjadi senjata paling tajam dalam melawan ketidakadilan. Ketika pertama kali membaca karyanya, aku merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah keberanian yang mengalir dalam setiap kalimatnya. Pram tidak hanya menulis, tetapi juga berbicara, menggugat, dan menggugah kesadaran pembacanya.
Aku pertama kali mengenal Pram saat seorang teman merekomendasikan Tetralogi Buru kepadaku. “Kalau kamu ingin memahami Indonesia dengan cara yang lebih tajam, bacalah ini,” katanya. Aku pun memulai dengan “Bumi Manusia”, lalu berlanjut ke “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, dan akhirnya “Rumah Kaca”. Setiap lembarnya seolah mengajak aku menelusuri jejak perjalanan bangsa ini dari sudut pandang yang selama ini tak banyak diceritakan.
Minke, tokoh utama dalam tetralogi itu, mengajarkanku tentang perlawanan, tentang bagaimana seorang individu bisa menolak tunduk pada ketidakadilan meski tekanan begitu besar. Aku melihat dalam diri Minke bukan sekadar sosok fiksi, melainkan cerminan perjuangan banyak orang yang berusaha melawan sistem yang menindas. Lewat kisahnya, Pram seperti berbisik kepada kita bahwa menjadi manusia berarti berani berpikir dan bertindak.
Namun, membaca Pram tidak selalu nyaman. Ia menuliskan kenyataan yang pahit, menghadirkan sejarah yang kerap terlupakan, dan memotret luka-luka bangsa ini dengan begitu gamblang. Dalam “Nyanyian Sunyi Seorang Bisu”, misalnya, aku merasakan getirnya pengalaman Pram di Pulau Buru. Ia dipenjara tanpa diadili, diperlakukan dengan kejam, tetapi tetap menulis. Bagiku, itulah bentuk perlawanan paling dahsyat—tetap berkarya ketika kebebasan direnggut.
Dari Pram, aku belajar bahwa perbudakan bukan hanya tentang rantai dan belenggu yang tampak kasat mata. Ada perbudakan yang lebih halus, yang membelenggu pikiran dan keberanian seseorang untuk bersuara. Ia mengajarkan bahwa kita harus terus berpikir kritis, mempertanyakan, dan tidak sekadar menerima keadaan.
Banten juga mencatat jejak pemikiran Pram. Dalam “Sekali Peristiwa di Banten Selatan”, ia menggambarkan kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat Banten. Novel ini menyadarkanku bahwa penderitaan yang ditulis Pram bukan hanya sekadar kisah masa lalu, tetapi masih relevan hingga kini. Kemiskinan, ketimpangan, dan penindasan masih menjadi realitas yang harus kita hadapi.
Semakin banyak membaca karya Pram, semakin aku memahami betapa besarnya keteguhan hatinya. Ia dipenjara, dilarang menulis, tetapi pikirannya tak pernah bisa dibungkam. Kata-katanya terus hidup, menginspirasi, dan membuka mata banyak orang. Ia membuktikan bahwa meski seorang manusia bisa dipenjara, pemikirannya tetap bisa terbang bebas.
Kini, setiap kali aku membaca ulang buku-bukunya, aku merasa seperti berbincang kembali dengannya. Pram memang telah tiada, tetapi suaranya tetap hidup dalam setiap karyanya. Ia mengajarkan bahwa keberanian untuk berpikir dan bersuara adalah hal yang harus terus diperjuangkan.
Mengenang Pram bukan sekadar mengenang seorang penulis besar, tetapi juga mengenang seorang pejuang yang melawan dengan kata-kata. Dan bagiku, membaca Pram adalah perjalanan tanpa akhir—karena selalu ada hal baru yang bisa kupelajari dari setiap lembarnya. ***
Didin Tulus, penggiat buku. Tinggal di Cimahi.