Mengintip Aktivitas ‘Urusan Perut’ Mahasiswa Jatinangor (2, Habis)

warung makan 830x400 1
Ilustrasi, (Foto: Republika.co.id).

ZONALITERASI.IDKalau sudah menyangkut urusan perut, revolusi bisa terjadi. Namun, itu biasa terjadi di ranah politik. Lalu, bagaimana hubungan antara dengan pola makan mahasiswa di warung makan dengan revolusi? Di sinilah posisi penting dari keberadaan warung makan yang tidak dipisahkan dengan geliat aktivitas kehidupan mahasiswa di Jatinangor, Kabupaten Sumedang.

Konon, setiap akhir bulan, mahasiswa yang memiliki kantong pas-pasan akan berhadapan dengan masa-masa memprihatinkan. Selain, uang di saku sudah kempis, untuk meminjam ke kawan-kawan sesama mahasiswa pun, tak mudah untuk dilakukan.

“Mau minjam kepada mahasiswa yang terlihat kemampuan ekonominya ada di atas kita, gengsi atuh! Imej kita di mata mereka bisa turun. Namun, untuk meminjam ke kawan-kawan senasib juga, ya kasihan. Mereka juga kan lagi bokek,” kata mahasiswa Fakultas Sastra Unpad, Ryan Nugraha (23), kepada Zonaliterasi.id, baru-baru ini.

Kata Ryan, karena urusan perut tak bisa ditawar-tawar, terpaksa dia melakukan jalan pintas, nganjuk ke warung makan.

“Urusan makan mah sangat mendesak. Jika tidak segera dipehuhi, pengennya marah-marah melulu. Imbasnya konsentrasi untuk kuliah menjadi terganggu. Wajar jika ada yang mengatakan, jika urusan perut tidak segera terpenuhi, yang namanya revolusi bisa segera terjadi. Kondisi itu juga terjadi pada diri saya yang berlatar belakang ekonomi pas-pasan. Harapan negara yang diembankan kepada saya untuk menjadi agen of change atau agen perubahan, tak mungkin bisa diwujudkan,” kata Ryan sambil senyum di kulum.

Mahasiswa lainnya Beben Nur Fajar (23), mahasiswa semester VI Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin) mengatakan, antara dia dengan warung makan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bagi mahasiswa asal Cianjur ini, warung makan menjadi pelengkap hidup dari aktivitasnya sebagai mahasiswa perantauan.

Beben mengungkapkan, sebagai pecinta warung makan, dia sudah tahu betul warung makan mana saja yang menyajikan makanan yang sesuai dengan forsi mahasiswa.

“Di dekat kampus, ada warung makan yang rasa makanannya enak-enak. Namun, bukan itu saja, yang lebih penting harga makanannya murah-murah. Bahkan, jika lagi kepepet, bisa nganjuk pula. Pokona mah tiasa diajak ‘badami’,” kata Beben.

Namun, ternyata, selain ada warung makan yang menyediakan fasilitas nganjuk kepada para mahasiswa, seperti warung makan Nu Sasari, di Jalan Caringin, ada juga warung makan yang tak mau menyediakan fasilitas itu. Warung makan yang lokasinya tepat di pinggin Jalan Raya Jatinangor, di dekat Kampus Ikopin dan IPDN, justru anti mengutangkan makanan kepada konsumen.

“Daripada nagihnya susah, lebih baik bayar crung-creng saja. Dari dulu saya tidak pernah mengutangkan makanan kepada konsumen. Lebih baik begini. Lebih aman,” kata pemilik warung, Zaki (35).

Kata Zaki, pengalaman tak enak soal utang-mengutang itu dialaminya beberapa waktu lalu. Pada suatu malam, ada mahasiswa yang ngekos di Jatinangor curhat kepada dirinya dan menyebutkan kehabisan uang. Masih kata si mahasiswa itu, lanjut dia, uang kiriman dari uangnya habis untuk keperluan kuliah.

“Yang paling mengenaskan, waktu si mahasiswa menyebutkan dari pagi belum makan. Hati saya pun terenyuh. Dia saya persilahkan makan. Tak hanya hari itu, hampir dua minggu saya perbolehkan dia makan di warung saya dengan cara mengutang. Janjinya sih akan dibayar setelah ada kiriman uang dari orang tuanya. Namun, hingga kini, setelah 5 tahun berlalu, boro-boro bayar utang, batang hidung mahasiswa ini pun tak pernah kelihatan, hilang entah ke mana,” terangnya. (dede suherlan)***

Respon (173)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *