Menjadi Kepala Sekolah

disdikpora seleksi calon kepala sekolah sd dan smp 800 2018 08 20 082015 0 800x400 1 1
Sebanyak 17 kepala sekolah di Jawa Barat kembali menjadi guru. Pemberian piagam penghargaan kepada 17 kepala sekolah yang telah mengabdi selama 16 (Ilustrasi: Nusabali.com)

Oleh Jejen Musfah

PERMENDIKBUD Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, menyebutkan bahwa seleksi substansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan tes potensi kepemimpinan yang dilakukan oleh LPPKS.

Norma, pasal, atau ayat yang terkait dengan syarat pengangkatan kepala sekolah dalam regulasi di atas harus diubah sesuai dengan rencana kebijakan pemerintah yang baru. Bahwa calon kepala sekolah tidak lagi dilatih oleh LPPKS tetapi harus alumni Program Guru Penggerak (PGP).

Menghapus LPPKS atau diklat calon kepsek apakah kebijakan yang tepat? Apakah langkah ini sudah melalui kajian yang mendalam? Apakah kementerian mengajak diskusi banyak pihak untuk pembubaran lembaga atau penghapusan sistem ini?

Indonesia memiliki lembaga penjamin mutu sesuai jumlah provinsi dengan fasilitas asrama dan kelas-kelas pelatihan untuk guru-guru di tingkat provinsi. Ada juga 12 lembaga khusus yang berbasis mata pelajaran untuk melatih guru-guru di level nasional.

Intinya, pemerintah memiliki lembaga pelatihan untuk guru-guru dalam jabatan. Berbeda dengan guru, apakah calon kepala sekolah atau kepala sekolah dalam jabatan tidak memerlukan lembaga pelatihan khusus?

Pelatihan guru penggerak dianggap cukup memastikan bahwa guru-guru siap menjadi kepala sekolah yang hebat. Masalahnya tidak semua guru terlibat dalam PGP. Jika di suatu daerah tidak ada alumni PGP, apakah kepsek dikirim dari luar daerah? Ini akan menimbulkan masalah.

Jika maksud kebijakan baru kepsek ini untuk memaksa guru mengikuti PGP, saya kira keliru. Prinsip pelatihan guru dalam jabatan adalah bagi mereka yang membutuhkan atau kurang kompeten dalam hal tertentu. Disesuaikan dengan kebutuhan guru, bukan bersifat top down.

Pelatihan harus datang dari motif internal guru karena merasa butuh. Pelatihan dari pusat atau atasan tidak akan efektif karena bukan kehendak diri guru atau tidak sesuai dengan kebutuhan guru.

Lagi pula banyak cara dan jalan untuk pengembangan kompetensi di era digital saat ini. Tidak selalu harus tatap muka atau ditentukan waktunya. Guru bisa belajar kapan saja dan di mana saja.

Model LMS aneka pelatihan yang ada di Pusdatin saya kira sudah tepat. Di mana di sana disediakan aneka pelatihan dengan topik yang beragam. Guru bebas memilih pelatihan dengan topik yang sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka. Tidak ada paksaan.

Guru-guru bahkan bisa mengambil pelatihan di luar negeri. Tanpa sekat ruang dan waktu. Semakin banyak belajar semakin kompeten dirinya. PGP hanya bagian kecil saja dari wadah pengembangan kompetensi guru. Tidak pantas atau berlebihan jika menganggapnya sebagai syarat wajib menjadi kepsek.

Pola Pusdatin ini lebih tepat dibandingkan memaksakan guru dan sekolah mengikuti pelatihan seperti PGP, apalagi dengan menjadikannya syarat menjadi kepala sekolah. Terlalu sempit menjadikan PGP sebagai syarat menjadi kepala sekolah. Bagaimana mungkin menjadi kepala sekolah syarat wajibnya alumni PGP?

Prinsip menjadi kepala sekolah adalah guru terbaik. Bagaimana cara mengetahui guru-guru terbaik di sekolah dan di daerah? Bagaimana dengan Dapodik atau Simpatika? Seharusnya bisa dan mudah. Kuncinya kemauan politik transparansi.

Atau melalui portopolio atau penilaian berkas yang bertumpu pada prestasi akademik dan nonakademik guru. Intinya bagaimana memberikan kesempatan yang sama kepada semua guru yang berprestasi di tingkat daerah, nasional, dan internasional.

Guru-guru yang menjadi pemenang lomba guru berprestasi atau berdedikasi di level nasional diundang atau diberi kesempatan menjadi kepala sekolah. Demikian juga dengan peserta lombanya.

Saya tegaskan, jangan menjadikan PGP sebagai syarat wajib menjadi kepala sekolah, tetapi cukup sebagai pertimbangan seperti syarat-syarat lainnya. Soal LPPKS dibubarkan atau tidak, itu soal lain. Memerlukan kajian yang mendalam.

Mengapa kita menjadikan sulit sesuatu yang sebenarnya bisa mudah dan simpel? Masalah kepala sekolah yang mendesak diselesaikan adalah dugaan pungli dari oknum dinas pendidikan. Bagaimana memastikan bahwa yang menjadi kepala sekolah adalah guru-guru yang kompeten dan berdedikasi, bukan yang dekat atau membayar oknum dinas pendidikan. ***

Pemred Majalah Suara Guru PB PGRI, Wasekjen PB PGRI, Dosen di UIN Jakarta.