DI dunia yang semakin modern, canggih, dan sangat maju tampaknya menyepi menjadi sebuah pilihan yang kian relevan bagi sebagian orang. Kita hidup di era yang penuh kebisingan — baik secara harfiah maupun metaforis. Suara kendaraan di jalan, notifikasi dari gawai, tuntutan pekerjaan yang tak pernah berhenti, kegaduhan politik, hingga opini-opini yang bertebaran di media sosial, semuanya membentuk simfoni kehidupan yang tak selalu menyenangkan.
Kemajuan peradaban dan teknologi membawa manusia ke titik luar biasa dalam sejarah. Kita bisa berkomunikasi lintas benua dalam hitungan detik, mengakses pengetahuan tak terbatas melalui internet, hingga menikmati kemudahan hidup yang tak terbayangkan di masa lalu. Namun, disrupsi yang dihasilkan oleh teknologi ini juga membawa konsekuensi yang tak terelakkan: ketergesaan, tekanan untuk terus relevan, serta hilangnya waktu untuk sekadar diam dan merenung.
Bagi beberapa orang, kebisingan ini adalah tanda kehidupan yang dinamis dan produktif. Mereka menemukan makna dalam hiruk-pikuk, kesibukan, dan percepatan. Namun, ada pula yang merasa bahwa kebisingan ini hanya menciptakan kehampaan. Hidup yang terlalu sibuk sering kali menjadi hidup yang dangkal, ketika kedalaman makna digantikan oleh pencapaian-pencapaian sesaat yang sekadar terlihat di permukaan.
Di tengah kebisingan itu, menyepi bukanlah bentuk pelarian. Menyepi adalah sebuah sikap — sebuah pilihan sadar untuk menarik diri dari keramaian agar dapat merenungi apa yang benar-benar penting. Menyepi bukan berarti menolak kemajuan atau menjadi antitesis teknologi, tetapi lebih kepada upaya untuk menciptakan jarak yang sehat dengan segala distraksi yang ada. Dengan menyepi, seseorang dapat menemukan kembali suara batinnya yang sering kali tenggelam dalam kebisingan dunia luar.
Menyepi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang memilih untuk bermeditasi di tempat yang sunyi, ada yang beralih ke alam untuk mencari ketenangan, atau bahkan sekadar melepaskan diri dari media sosial untuk sementara waktu. Dalam momen-momen menyepi ini, diberi ruang untuk merefleksikan hidup, mengidentifikasi nilai-nilai yang kita anut, dan mungkin menemukan tujuan yang lebih bermakna. Bagi yang percaya pada kehidupan setelah kematian, menyepi juga dapat menjadi jalan untuk mempersiapkan diri menuju kebahagiaan abadi.
Di era algoritma dan media sosial, menyepi juga menjadi bentuk resistensi terhadap ilusi keterhubungan. Media sosial sering kali menciptakan citra bahwa hidup orang lain lebih bahagia, lebih sukses, dan lebih bermakna. Dalam proses menyepi, kita belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh validasi eksternal, melainkan oleh kedamaian dalam diri.
Menyepi bukan berarti pesimis terhadap kehidupan. Sebaliknya, menyepi adalah cara untuk mengembalikan harapan, menemukan makna, dan membangun kehidupan yang lebih selaras dengan apa yang benar-benar penting. Dalam dunia yang penuh kebisingan, menyepi adalah bentuk keberanian-keberanian untuk mendengarkan diri sendiri di tengah segala distraksi yang ada. ***
Suheryana Bae, pemerhati sosial, tinggal di Ciamis, Jawa Barat