ZONALITERASI.ID – Ada yang menarik dalam prosesi pengukuhan guru besar di Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa waktu lalu. Dalam momen langka ini, dua akademisi yang dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM ini adalah pasangan suami istri (pasutri). Mereka yaitu Prof. Dr. drh. Agustina Dwi Wijayanto, M.P., dan suaminya Prof. drh. Agung Budiyanto, M.P., Ph.D.
Keduanya sama-sama dikukuhkan bersama sebagai Guru Besar di Balai Senat Gedung Pusat UGM, Kamis, 27 Februari 2025. Prof. Agustina Dwi Wijayanto dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Farmakokinetik dan Terapi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Sedangkan suaminya Prof. Agung Budiyanto dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Bioteknologi Reproduksi Veteriner Ruminansia pada Fakultas Kedokteran Hewan UGM.
Menyikapi pengukuhan Guru Besar ini, Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed.,Sp.OG(K)., Ph.D., mengatakan, Prof. Agustina Dwi Wijayanto dan suaminya Prof. Agung Budiyanto merupakan salah satu dari 526 Guru Besar Aktif yang dimiliki UGM.
“Beliau berdua merupakan salah satu dari 21 Guru Besar Aktif dari 32 Guru Besar yang pernah dimiliki oleh Fakultas Kedokteran Hewan UGM,” ucap Prof. Ova Emilia.
Konsep One Health
Dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar, Prof. Agustina, mengangkat judul “Peran Farmakokinetik dan Terapi Veteriner pada Kesehatan Global (One Health)”.
Menurutnya, dalam kurun waktu dua dekade, telah terjadi berbagai problem kesehatan global, yang membuka mata banyak pihak dan sektor, mengenai pentingnya memahami kerjasama inter sektor dan disiplin ilmu dalam menyelesaikan suatu kasus penyakit. Kesehatan global, Kesehatan Bersama atau One Health merupakan konsep yang timbul menyusul merebaknya masalah Antimicrobial Resistance (AMR).
“Resistansi antimikroba muncul diakibatkan antara lain oleh penggunaan antimikroba (terutama antibiotik) yang tidak prosedural, penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan pada hewan produksi dan ternak. Serta penggunaan antibiotik yang masif sebagai obat untuk maksud pencegahan terjadinya penyakit dan infeksi sekunder,” sebut Prof. Agustina, dikutip dari laman UGM, Selasa, Minggu, 2 Maret 2025.
“Selama ini pengobatan infeksi pada dunia kedokteran hewan sangat mengandalkan penggunaan antimikroba, padahal dalam Konsep One Health adalah pendekatan komprehensif yang mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan untuk mengatasi tantangan kesehatan global,” imbuhnya.
Prof. Agustina mengungkapkan, pendekatan antar-disiplin ilmu inilah yang menjadikan konsep One Health merupakan metode yang paling relevan untuk mengatasi permasalahan Kesehatan Bersama. Konsep pendekatan One Health sangat bermanfaat untuk menangani penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang dapat ditularkan antara hewan dan manusia. Termasuk penyakit seperti flu burung, sindrom pernapasan akut parah (SARS), dan Covid-19, serta berbagai penyakit strategis yang lain seperti rabies dan antraks.
Farmakokinetik veteriner, lanjutnya, memiliki kontribusi sebagai dasar penetapan takaran obat untuk hewan yang optimal, sehingga menghasilkan dosis efektif dan durasi pemberian obat untuk membunuh mikroba secara tuntas.
“Peran farmakokinetik bersama dengan farmakodinamika veteriner akan menghambat terjadinya AMR dengan memastikan mikroba akan terbunuh dan mencegah terbentuknya strain resisten. Dari sisi keamanan pangan, peran farmakokinetik veteriner mampu memberikan data terkait kecepatan eliminasi, waktu paruh obat, waktu henti obat, dan menetapkan batas residu maksimum obat-obatan yang digunakan untuk kesehatan hewan agar aman dikonsumsi,” ujarnya.
Kata Prof. Agustina, di sektor keamanan pangan, terapi veteriner menggunakan obat hewan yang legal menjadi tuntutan yang sangat penting, untuk menjamin efektivitas dan keamanan produk hewan yang dikonsumsi manusia. Bahkan keamanan penggunaan limbah hewan produksi yang dimanfaatkan untuk pupuk misalnya, juga menuntut perhatian terhadap kandungan antimikroba resisten yang akan menyebar dengan cepat di lingkungan dan hijauan. Produk tanaman pertanian, buah, dan sayuran yang tak lain juga akan dikonsumsi manusia.
“Pendekatan multi sektor dan multi kompetensi sangat dibutuhkan karena sebagai manusia yang membutuhkan kebutuhan pangan cukup tinggi tidak mungkin lepas dari konsumsi protein hewani yang berkualitas, serta lingkungan yang sehat dan aman untuk hidup,” paparnya.
Soroti Kualitas dan Populasi Sapi Indonesia
Sementara Prof. Agung Budiyanto, saat pengukuhan Guru Besar menyampaikan pidato berjudul “Aplikasi Bioteknologi Reproduksi Veteriner dan Genetik Mapping dalam Peningkatan Kualitas dan Populasi Sapi di Indonesia”.
Dalam pidatonya, Prof. Agung menyampaikan permasalahan mendasar dalam upaya peningkatan populasi sapi di tanah air disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu di antaranya adalah performan reproduksi yang belum baik antara lain kualitas estrus yang tidak baik, tingkat kebuntingan dan kelahiran yang rendah, gangguan reproduksi yang tinggi, serta aplikasi teknologi reproduksi yang masih belum maksimal.
Selain itu dukungan kualitas sumber daya manusia (SDM) bidang peternakan dan kesehatan hewan secara umum masih belum merata dari sisi kualitas maupun kuantitas. Faktor sarana-prasarana yang belum digunakan secara efisien dan efektif serta faktor ekonomi makro yang membuat bisnis peternakan dan kesehatan hewan menjadi tidak stabil dan tentunya aplikasi teknologi reproduksi yang belum optimal.
Berdasarkan catatan statistik dari BPS, diketahui data pada tahun 2023 produksi daging sapi dan kerbau diperkirakan defisit sebesar 286,2 ribu ton. Pada tahun 2024 dengan estimasi produksi daging sapi potong mencapai 416,7 ribu ton ditambah daging kerbau sekitar 16,2 ribu ton sehingga total penyediaan 432,9 ribu ton, sementara konsumsi nasional diestimasi mencapai 724,2 ribu ton.
“Kekurangan ini diantisipasi dengan impor sapi potong bakalan dan impor daging dan jeroan beku, serta program peningkatan populasi sapi potong dan kerbau,” ujarnya.
Selanjutnya Prof. Agung menuturkan, dalam pengembangan dan aplikasi teknologi reproduksi harus dilakukan antara lain inseminasi buatan (IB), sinkronisasi estrus, embrio transfer, dan genetik mapping dapat diharapkan ikut berkontribusi dalam membantu secara intensif dan memfasilitasi peningkatan populasi dan perbaikan genetik sifat-sifat produktif hewan secara umum.
“Performan reproduksi didukung kualitas genetik yang jelas dan ditemukannya banyak sandi penanda tingkat fertilitas pada gen tertentu”, terangnya.
Selain itu, tambahnya, penelitian terkait genetik sapi di Indonesia sebaiknya terus dikembangkan lebih luas pada bangsa sapi dan spesies lain serta dikombinasikan secara komprehensif dengan teknologi reproduksi lain untuk mempercepat peningkatan ketersediaan daging dan susu nasional.
“Genetik mapping ini bertujuan untuk mengatasi dampak seleksi jangka panjang yang selama ini hanya lebih fokus pada produksi susu, daging dan konformitas sapi tanpa mempertimbangkan faktor genetik,” imbuh Prof. Agung. ***