SEORANG gadis kecil yang genap berusia 9 tahun, Berhenti tepat di depan pintu kayu rapuh yang terbuka. Pandangannya menelisik, keningnya mengerut. Banyak orang, pikirnya.
Aneh, hari ini aneh sekali. Selain ia menemukan orang iseng yang membuat bendera kuning redup di halaman rumahnya, ia juga menemukan tetangga-tetangganya tiba-tiba berkumpul di dalam rumahnya. Sungguh aneh, biasanya tak ada yang mau repot-repot bahkan hanya sekadar basa basi berkunjung ke rumah kecilnya. Apa kali ini Ibunya berniat merayakan ulang tahunnya, ya?
Gadis kecil itu berjalan penuh keraguan ke dalam sebuah tempat yang ia sebut rumah. Pandangan sendu orang-orang, kata-kata penguat yang mengusik pendengarannya, genggaman tangan hangat pada tangannya yang mulai mendingin. Gadis itu tak mengerti apa yang tengah terjadi, namun yang ia yakini pasti, ini bukan hal baik.
“Naba …” panggilan itu mengalun lirih sesaat setelah gadis kecil itu tiba di depan pusat dari segala perhatian orang-orang yang berkunjung ke rumahnya sore ini. Naba tak bergeming di tempatnya. Ia mematung dengan segala pemikiran yang berenang di kepalanya. Tapi di antara semua pertanyaan-pertanyaan yang mengitari kepala kecilnya, ada satu pertanyaan yang paling mengusiknya. Apa yang ada di balik kain batik di hadapannya ini?
Naba mendudukkan dirinya. Kemudian, tangan kecil itu bergerak perlahan membuka kain berwarna cokelat terang di hadapannya. Semua orang yang berada di sana serempak memalingkan dan menundukkan wajah dengan air mata yang mengalir. Tak ada orang yang berniat menghentikan gadis kecil itu. Sungguh, bagaimana pun dia adalah orang yang paling berhak mengetahuinya. Namun tak ada yang kuat menyaksikan pemandangan menyesakkan ini.
Tangannya terlepas bebas bahkan saat kain batik itu baru terbuka sedikit. Menampakkan wajah pucat membiru milik Ibunya. Naba membeku melihatnya. Pikirannya bekerja cepat. Mencoba mengolah informasi yang ada di hadapannya dan mencari penangkal yang tepat dari hal buruk yang mencoba menguasai pikirannya.
“Ibu?” tangan mungilnya yang bergetar terulur menyentuh pipi yang ia kecup setiap hari. Dingin. Tidak, tidak. Pipi Ibu tak pernah dingin. Selalu hangat.
Mungkin Ibu habis makan es, pikirnya tetap positif.
Naba merasa sulit bernapas, “Aku pulang.”
Matanya pun mulai terasa panas.
“Ibu denger aku, kan? Aku pulang. Mana senyum Ibu?”
Mata Naba mulai berkaca-kaca, “Aku gak mau nangis. Ibu bilang jangan cengeng. Jadi perempuan itu harus kuat, harus bahagia.”
Naba merasa dadanya seperti terhimpit sesuatu yang sangat besar, “Tapi, Bu … emangnya Ibu bahagia?”
Rasanya air matanya semakin mendesak untuk dikeluarkan, “Ibu juga sebenernya gak kuat, kan? Makanya Ibu pergi … ninggalin Naba.”
“Naba …”
Seorang wanita paruh baya mendekat ke arahnya. Naba menoleh.
“Bibi Ratih … Galang bilang, Ibu Naba ikat lehernya di pintu, bener?”
Wanita paruh baya itu terbelalak, terkejut. Semua yang mendengarnya pun merasakan hal serupa. Sedang Ibu dari anak bernama Galang tersebut, segera mengambil langkah keluar dan mencari anak kurang ajar itu.
“Enggak, Naba.”
Naba menggeleng keras, “Bibi jangan bohong. Naba gak suka orang yang bohong.”
Wanita yang dipanggil Bibi itu terdiam sebelum pada akhirnya ia mengangguk ragu.
Hening. Gadis kecil itu tak bereaksi. Ia terdiam memperhatikan mayat Ibunya lekat-lekat. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, membuat orang-orang cemas. Tapi beberapa saat kemudian ia menangis. Semuanya menitikan air mata. Termasuk langit. Hujan deras tiba-tiba muncul bersama awan-awan hitamnya. Menunjukkan bahwa semesta pun turut berduka.
Ratih memeluk tubuh kecil yang bergetar hebat itu dari belakang, “Jahat! Ini, kan, ulang tahun Naba. Katanya kita mau makan kue, makan ayam bakar kesukaan aku sama Ibu! Tapi mana?!”
Ratih sigap menangkap tangan Naba yang hendak melayangkan pukulan.
“Gak adil! Naba aja kalau pergi pamit dulu sama Ibu. Kenapa Ibu pergi gak pamit dulu sama Naba?!”
“Ibu bohong! Katanya Ibu bahagia sama aku. Katanya Ibu kuat! Tapi Ibu malah mati!”
“Aku pikir kita ini keluarga bahagia. Aku bahagia hidup bareng Ibu. Aku kira Ibu juga bahagia. Tapi kayaknya cuma Naba aja yang bahagia. Ibu enggak,” isakannya semakin terdengar memilukan.
“Ibu ninggalin Naba sendiri. Ibu gak sayang Naba …”
Naba menangis sekeras yang ia bisa. Ratih hanya bisa mendengarnya pilu sembari memeluknya erat. Mencoba menyalurkan semangat dari pelukannya. Hanya itu yang bisa ia lakukan.
Ratih adalah tetangga samping rumah Naba yang akrab dengan Ibu Naba dan gadis manis itu sendiri. Sepengetahuannya, Nabastala merupakan gadis cerdas yang luar biasa. Naba tak pernah mengeluh apalagi merengek dan menangis entah karena sepatunya bolong, makan nasi dengan garam, ataupun karena tak dibelikan mainan mahal seperti teman-temannya.
Ia bahkan tak malu harus bekerja untuk membantu Ibunya dalam masalah ekonomi seperti menjual tissue di jalan raya atau menyemir sepatu. Apapun. Ibu Naba hanya seorang buruh pabrik dengan gaji yang tak seberapa. Benar-benar definisi anak baik.
Meski waktunya terlihat habis dipakai untuk membantu perekonomian keluarga kecilnya, tetapi Naba tetap bisa membagi waktunya dengan belajar. Naba rajin mengunjungi perpustakaan kecil yang disediakan di kampung tempatnya tinggal.
Wali Kelas Naba yang mengetahui kondisi gadis itu juga membantunya dalam perihal belajar dan fasilitas seperti buku-buku. Sayang sekali jika gadis berpotensi seperti Naba disia-siakan begitu saja. Gadis itu lebih cerdas dan dewasa dari umurnya yang dapat dikatakan belia. Mungkin karena dia sudah merasakan kerasnya kehidupan pada umurnya tersebut.
Seumur Ratih mengenal seorang Nabastala, baru kali ini Ratih melihat gadis hebat itu menangis.
“Naba ingin benci Ibu, tapi gak bisa. Jadi Naba benci diri Naba aja.”
Gadis itu mencoba menghentikan isakannya, “Maafin Naba yang gak bisa jaga Ibu. Maafin Naba yang gagal bikin Ibu bahagia. Maafin Naba, Bu …”
Setelah mengucapkan itu, Naba jatuh dan tak sadarkan diri di atas mayat Ibunya. Panik menyerang semua orang.
Segala proses pengurusan jenazah hampir selesai. Tinggal proses pemakaman. Hanya saja, proses pemakaman ditunda hingga puteri semata wayang dari almarhumah terbangun dari pingsannya.
Dua jam kemudian, barulah gadis kecil itu bangun dan proses pemakaman pun dapat dilaksanakan.
Sepanjang proses pemakaman, Naba sama sekali tak bersuara. Bahkan ketika mayat Ibunya dimasukkan ke dalam kuburan hingga mayatnya selesai ditimbun tanah, Naba diam seribu bahasa. Ia tak menangis. Pandangannya kosong. Ketika ditanya ia hanya mengangguk.
Hal ini membuat orang-orang semakin khawatir. Mereka lebih baik menyaksikan Naba mengeluarkan emosinya dengan menangis keras daripada ia hanya diam dan memendam segalanya sendiri. Tolonglah, gadis kecil itu sudah cukup menderita.
Gadis itu pulang diantarkan oleh Ratih. Ratih membantu Naba membereskan pakaian dan beberapa barang yang dibutuhkan karena sebentar lagi gadis itu akan dibawa oleh Ayah kandungnya.
Sebenarnya Ratih ingin memastikan Naba pergi dengan Ayahnya dengan selamat. Tapi Naba bersikeras menyuruh Ratih pulang dan meyakinkan Ratih bahwa Ayahnya akan tiba sebentar lagi.
Akhirnya karena paksaan tak terbantahkan Naba, Ratih pun pulang dengan berat hati.
Sepeninggal Ratih, Naba melamun di kursi teras rumah bersama satu tas besar dan tas ransel lusuh miliknya, menunggu sang Ayah tiba. Naba sedang memikirkan apa yang akan ia katakan jika bertemu Ayahnya nanti. Mengatakan ‘hai‘ mungkin sudah lebih dari cukup.
Jujur saja, Naba tidak terlalu dekat dengan Ayahnya. Ia juga sudah lama sekali tak bertemu dengannya. Ibu tak pernah melarang atau membatasi Naba bertemu Ayah, hanya saja memang Naba yang tidak mau. Tak tahu kenapa.
Naba tersenyum tatkala melihat matahari terbenam dengan sempurna. Itu berarti, Ibunya-Mentari- dikuburkan bersamaan dengan tenggelamnya matahari. Mentari-nya telah tenggelam.
Tapi tak lama kemudian, Naba kembali menangis. Tak apa, kan, jika Naba ingin menangis? Naba tidak mau pura-pura kuat seperti Ibunya. Yang berujung kematian.
Naba tak mengerti tentang perasaannya. Satu sisi Naba tak menyukai pilihan Ibunya. Ibunya memilih meninggalkannya sendirian di hari yang spesial bagi Naba. Naba merasa tidak disayangi, Naba merasa tidak dicintai, Naba juga merasa … telah dibohongi orang yang paling dipercayainya. Beri tahu Naba, apa salahnya?
Di sisi lain, Naba membenci dirinya sendiri. Naba merasa … gagal. Naba gagal menjaga Ibu, Naba gagal membahagiakan Ibu sehingga wanita itu memilih pergi meninggalkannya. Naba benar-benar membenci dirinya.
Gelap pun menyapa. Naba mengeratkan mantel biru kesayangannya karena dingin mulai menerpa kulit Naba. Perut Naba tiba-tiba berbunyi, merengek minta diisi. Naba memutuskan masuk ke rumah untuk mencari tahu apakah Ibunya sempat menyiapkan makanan dan juga untuk menyalakan lampu. Naba membenci kegelapan.
Gelap. Naba masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang tak dapat digambarkan. Tangannya menelusuri dinding rapuh rumahnya yang menjadi saksi bisu segala kenangan di rumah ini.
Setelah tangannya menemukan saklar lampu, Naba pun menekannya dan gelap terusir seketika.
Sama halnya saat ia memasuki dapur, Naba segera mencari saklar lampu dapur lalu menyalakannya.
Naba mulai mencari makanan di lemari makanan. Hanya tersisa seikat bayam yang mulai layu, setengah bungkus garam, dua butir telur, dan beberapa rempah-rempah. Naba memutuskan mengambil setengah bungkus garam. Kemudian pandangannya beralih pada tudung saji di atas meja makan.
Kaki Naba melangkah ke arah meja makan. Ia membuka perlahan tudung saji tersebut dengan harapan ada sesuap nasi yang dapat ia makan untuk mengganjal perut.
Setelah Naba melihat isi meja makan, tudung saji dan bungkusan garam yang tengah dipegangnya jatuh mengenaskan di lantai. Kedua tangan Naba refleks membekap mulutnya sendiri.
Betapa terkejutnya Naba melihat hadiah yang dibungkus super cantik, sepiring nasi lengkap dengan ayam bakar, susu cokelat yang sudah dingin, dan kue cokelat besar yang indah bertuliskan … ‘Selamat Ulang Tahun Langitku, Nabastala.’
Tangisnya yang sempat surut, kembali menerjang kuat. Satu hal yang dapat Naba pastikan. Ibunya menyayanginya.
Kesedihan Naba tak berlangsung lama. Klakson mobil dari luar membuyarkan semuanya. Naba tanpa pikir panjang segera membungkus segala pemberian terakhir Ibunya. Kemudian ia dengan susah payah membawanya keluar. Seorang pria dengan raut wajah tak menyenangkan menatapnya tajam di depan mobil mewahnya. Sepertinya Ayah kesal karena Naba terlalu lama di dalam.
Naba mendekat ke arah lelaki itu, “Hai, Ayah,” inilah kata-kata yang Naba persiapkan sejak tadi.
Ayah terdiam sejenak. Kemudian menghela napas dan tersenyum kepadanya. Ayah dengan ramah menuntun Naba masuk ke dalam mobil dan membantu Naba memasukkan barang bawaannya kecuali hadiah besar berbungkus biru muda yang dipeluk erat gadis kecil itu.
Sebenarnya Ayah sempat menyuruh Naba membuang makanan-makanan yang dibawanya. Ayah berkata bahwa ia dapat memberikan makanan yang lebih baik dan lebih mahal tetapi Naba menolak keras karena makanan-makanan ini adalah pemberian terakhir Ibunya. Pada akhirnya Ayah mengangkat bahunya acuh.
Sebelum Ayah melajukan mobilnya, Ayah mengeluarkan hadiah yang baru dibelinya kepada Naba. Naba tentu saja senang sekali, apalagi yang Ayah beri merupakan boneka beruang besar berwarna coklat muda yang sudah menjadi incarannya sejak dulu.
Mengapa Ayah bisa mengetahuinya, ya? Naba menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan pikiran buruk yang menghinggapi kepalanya. Digantikan dengan pikiran-pikiran positif mengenai Ayahnya. Ternyata Ayah tak terlalu buruk.
Ayah melajukan mobilnya dengan hati berbunga-bunga dan senyum yang merekah sepanjang jalan. Selain karena ia mendapatkan senyum langka puteri kesayangannya, hadiahnya juga ternyata membuat Naba mengesampingkan hadiah dari wanita pengganggu itu. Tetapi yang paling penting dari semuanya adalah ia mendapatkan hak asuh Naba yang ia inginkan sejak dulu.
Sungguh malang. Nabastala tidak benar-benar mengerti apa yang tengah menimpanya. Gadis kecil itu tak mengetahui bahwa manusia yang tengah bersamanya adalah penyebab utama kematian Ibunya. Penyebab tenggelam Mentari-nya. ***
Amabilla Marva Haira, alumni MAN 1 Darussalam Ciamis. Saat ini menempuh pendidikan di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)