P2G Desak Kemendikbudristek Batalkan Asesmen Nasional

unnamed
P2G mendesak Kemendikbudristek membatalkan penyelenggaraan Asesmen Nasional yang akan digelar pada September-Oktober mendatang, (Ilustrasi: Istimewa).

ZONALITERASI.ID – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mendesak Kemendikbudristek membatalkan penyelenggaraan Asesmen Nasional yang akan digelar pada September-Oktober mendatang.

Asesmen Nasional terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.

“P2G sebagai salah satu organisasi guru tingkat nasional meminta kepada Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk membatalkan penyelenggaraan AN selama kondisi masih pandemi Covid-19,” ujar Kabid Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri melalui keterangan tertulis, Selasa (2/8/2021).

P2G memberi 5 alasan mengapa Asesmen Nasional harus dibatalkan:

Pertama, P2G menilai kondisi pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan kapan akan berakhir. Dampak signifikan pandemi terhadap dunia pendidikan adalah ancaman “learning loss” meningkatkan angka putus sekolah jenjang SD seperti di Aceh, Jawa Timur, Maluku Utara, NTB, NTT, dan Papua Barat.

PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) yang sudah 1,5 tahun dilaksanakan masih belum efektif. PJJ melahirkan problematika makin besarnya fakta ketimpangan digital. Sehingga ada siswa dan guru yang sanggup melaksanakan proses pembelajaran, sementara itu banyak siswa dan guru yang tak dapat melakukan PJJ.

“Faktanya sebanyak 20,1 % siswa dan 22,8 % guru tak memiliki perangkat TIK seperti gawai, komputer, dan laptop selama PJJ, mengutip Data Kemendikbud, 2021,” kata Aggota Dewan Pakar P2G Suparno Sastro.

Suparno menuturkan, dengan fakta ketimpangan digital selama PJJ, Permendikbud No. 17 tahun 2021 tentang Asesmen Nasional Pasal 5 ayat 4, justru menambah ketimpangan menjadi diskriminasi baru bagi siswa. Yakni prasyarat Asesmen Nasional harus dilaksanakan di tempat yang memiliki akses internet.

Realitanya ada sekitar 120 ribu SD yang belum memiliki TIK (komputer) minimal 15 paket. Termasuk 46 ribu sekolah yang sama sekali tidak punya akses internet bahkan aliran listrik. Belum ditambah kualitas sinyal internet yang buruk di beberapa wilayah.

“P2G berharap ada ‘grand strategy’ dari Kemendikbudristek untuk mengantisipasi dan menanggulangi semua ini. Jangan sampai berakibat pada bencana demografi yang kita tanggung nanti,” tambah Suparno.

Kedua, terkait tujuan Asesmen Nasional untuk memotret kualitas pendidikan nasional termasuk di dalamnya ekosistem sekolah, sebenarnya jauh-jauh hari Kemendikbudristek sudah punya datanya.

Rapor internasional PISA menunjukkan jika kompetensi siswa Indonesia sangat rendah dalam tiga aspek: Literasi, Numerasi, dan Sains. Indonesia di bawah rata-rata skor negara OECD, bahkan masuk ranking lima dari bawah.

Demikian pula hasil rapor nasional seperti dalam Asesmen Kompetensi Minimum Indonesia (AKSI) atau Indonesia National Assessment Programme, skor siswa kita untuk literasi, matematika, dan sains juga masih di bawah rata-rata alias rendah.

Jika Asesmen Nasional tetap dipaksakan di masa pandemi ini, hasilnya juga akan berpotensi sama dengan hasil AKSI dan PISA sebelumnya. Bahkan bisa lebih buruk lagi.

Lanjut Iman, Survei Karakter juga sudah dilakukan dalam AKSI. Sedangkan Survei Lingkungan Belajar juga tiap tahun dibuat Kemendikbudristek, diisi oleh sekolah melalui format Evaluasi Diri Sekolah (EDS) dan Peta Mutu Pendidikan (PMP). Karena EDS ini dibuat pemerintah, tentu sekolah akan mengisi dengan jawaban yang baik-baik saja. Potensi masalah baru akan timbul.

Survei Karakter dan Lingkungan Belajar juga akan bernasib sama, yaitu guru dan siswa berlomba mengisi survei dengan jawaban yang positif-positif, agar sekolah mereka dilabeli baik bahkan sangat baik oleh Kemendikbudristek.

“Jadi, praktik Survei Karakter dan Lingkungan Belajar berpotensi mendorong guru dan siswa menjawab survei dengan tidak jujur. Demi baiknya profil sekolah di mata pemerintah,” terang Iman.

Ketiga, merujuk Permendikbud No. 17 Tahun 2021 tentang Asesmen Nasional yang baru terbit, P2G merasa indikator Survei Lingkungan Belajar tidak komprehensif, karena hanya mengambil tiga indikator saja, yaitu indikator keamanan, indikator keberagaman/inklusivitas, dan kualitas pembelajaran. Indikator tersebut sangat parsial dan tidak utuh.

Padahal ada delapan Standar Nasional Pendidikan (NSP) yang terdapat dalam UU Sistem Pendidikan Nasional dan aturan turunannya. Mestinya Delapan indikator SNP inilah yang dipotret.

“Lagipula ‘profiling’ apa yang dapat dipotret Kemendikbudristek, jika dilakukan melalui survei yang parsial. Sementara itu, Akreditasi Sekolah selama ini sudah dapat memotret delapan SNP secara utuh dan otentik dan dilakukan lembaga mandiri di luar Kemendikbud secara periodik. Jadi, untuk apa lagi Survei Lingkungan Belajar?” tanya Iman.

Keempat, dana Asemen Nasional sebaiknya dialokasikan bagi kebutuhan mendasar pendidikan. Terutama di masa pandemi Covid-19 seperti ini. Kemdikbudristek mengalokasikan sekitar Rp. 1,48 triliun untuk penyelenggaraan Asesmen Nasional. Lebih baik anggaran sebesar ini direalokasikan untuk membantu PJJ akan berkualitas dan mengurangi ketimpangan digital di banyak daerah.

Kelima, Kemendikbudristek kerap menyampaikan jika UN berbeda dengan Asesmen Nasional. Juga menyatakan Asesmen Nasional tak perlu ada persiapan khusus baik oleh siswa, guru, termasuk orang tua. Tetapi faktanya, laporan terbaru dari jaringan guru dan kepala sekolah P2G, Kemendikbudristek baru saja merilis ke pihak sekolah, daftar 45-50 nama siswa kelas VIII dan XI yang dipilih untuk mengikuti Asesmen Nasional pada Oktober nanti.

Bagi P2G, ini strategi yang sangat berbahaya bagi sekolah lebih khusus siswa. Tragedi UN akan kembali terulang jika pola ini tetap dilakukan. Lima puluh siswa yang dipilih ini akan benar-benar terbebani secara psikologis, sosial, bahkan ekonomi.

Kondisi psikologis siswa akan tertekan, sebab mereka mewakili sekolahnya untuk ikut AN, menjawab serangkaian soal AKM Numerasi dan Literasi, mengisi Survei Karakter. Jawaban mereka akan mempengaruhi potret atau data profiling sekolah.

“Orang tua yang mampu pasti akan mengirim anaknya belajar tambahan ke Bimbel luar sekolah, demi hasil AN yang tinggi dan memuaskan semua pihak. Sedangkan siswa miskin, apalagi nilai akademik rendah tidak mampu berbuat apa-apa. Siswa miskin dan nilai akademik rendah akan jadi beban sekolah dalam AN,” cetusnya.

“Jika saja nilai AN hasilnya rendah, nama baik sekolah sampai Dinas Pendidikan tercoreng. Anak termasuk guru berpotensi disalahkan oleh birokrat pendidikan daerah. Dianggap tidak serius menyiapkan AN agar hasilnya bagus,” pungkas Iman. (des)***

Respon (123)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *