BERBICARA kepemimpinan cakupannya akan sangat luas mengiringi hal-hal berkaitan integritas, tanggung jawab, kredibilitas, ketulusan, pengabdian, dan lain sebagainya. Sayangnya narasi ini perlahan luntur akibat ulah penyelenggara negara yang melalukan penyelewengan kepemimpinannya dan mengabaikan indikator kepemimpinan yang ada. Sebagai seorang khalifah mestinya hadir memberi contoh bukan terkesan “memanfaatkan situasi” di tengah situasi yang seharusnya menjadi ajang gotong royong.
Lalu, kepada siapa lagi rakyat harus percaya? Kepada siapa lagi rakyat menggantungkan diri? Apakah tidak ada sedikit pun hati kita tersentuh dengan kondisi saat ini? Kerusakan lingkungan dan fakta bencana banjir dan tanah longsor di Sumatera mengajarkan kita bahwa tangisan rakyat rasanya belum cukup untuk mengajarkan sebuah kepemimpinan masa kini atau kita yang terlewat?
Hal ini berbasis fakta empiris yang tidak bisa dibantah bahkan oleh penulis sekalipun. Yang berada dan bekerja di lingkup pemerintahan sepertinya sudah bekerja sepenuh hati, namun kena imbasnya terhadap apa yang dirasakan rakyat saat ini. Kondisi itu membuat penulis berpikir, kenapa bisa sampai separah ini?
Saat ini yang tidak dapat dibantah yaitu sebuah narasi berasal dari logika berpikir sederhana, bagaimana ini bukan lagi ajang belajar memimpin dan dipimpin tetapi ajang membantu dan saling meringankan beban terdampak bencana. Tertampar fakta bencana alam dan lingkungan yang saat ini terjadi bukan suatu kebetulan tetapi terjadi secara terstruktur dan sistematis. Mempertahankan keseimbangan ekologis saat ini tidak bisa kita lakukan di saat deforestasi dianggap remeh, perluasan lahan, izin usaha sawit dipermudah, dan tambang serta tanah kita dieksploitasi. Ini menandakan tidak ada reforma agraria, UU lingkungan sangat mendukung deforestasi, praktik usaha pertambangan yang meluas. Kita paham bahwa usaha tersebut (sawit dan tambang) meningkatkan nilai ekonomi tetapi apakah lazim apabila reformasi lahan (land reform) saat ini tidak terlaksana bahkan tidak memperhatikan pemanfaatan lahan yang bijaksana dan diatur sedemikian untuk menciptakan keseimbangan ekologis serta hanya memikirkan investasi semata?
Terakhir, besar harapan bagi penulis dan renungan bagi diri sendiri serta menyemangati generasi muda lain untuk bisa terus belajar dan mengembangkan diri serta menjadi pemimpin masa depan yang baik dalam hal tata kelola lingkungan. Kebangkitan ada di tangan generasi penerus. Kita tertampar fakta saat ini. Bahkan, tidak ada lagi yang dapat saya bela karena akuntabilitas data sudah tersebar luas dan valid di berbagai media yang menyoroti.
Sepenggal tulisan dari saya yang akan terus mencintai Indonesia. Semoga cepat pulih bangsaku. ***
Mochamad Ginanjar Riana, Tenaga Pendukung Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, Kementerian ESDM RI; Aktivis dan researcher lingkungan hidup independen berproses di Institute of Energy and Development Studies (IEDS).





