LONTARAN pemikiran GWS (2025) tentang koperasi dan perkoperasian di Tanah Air sebagai “infrastruktur tanpa ekosistem keilmuan” patut dikaji secara cermat. Seperti dikemukakannya, Indonesia memiliki segala perangkat formal untuk koperasi. Yaitu antara lain Kementerian Koperasi dan UKM, Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN), bahkan Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN) – satu-satunya perguruan tinggi yang seharusnya menjadi benteng ilmu koperasi. Namun yang terjadi adalah anomali epistemologis yang mengejutkan, yaitu IKOPIN sama sekali tidak memiliki Program Studi Koperasi. Di kampus yang didirikan khusus untuk koperasi ini, yang ditawarkan adalah program studi Manajemen, Akuntansi, dan Ekonomi Syariah – jurusan yang bisa ditemukan di universitas mana pun. Ini seperti Institut Teknologi yang tidak mengajarkan teknik, atau Sekolah Tinggi Seni yang tidak punya jurusan seni rupa. Hal ini cerminan dari kegagalan sistemik: kita membangun institusi tanpa membangun ilmu yang seharusnya menjadi jiwanya.
Ada empat hal yang saya pikir perlu mendapat perhatian semua pihak agar koperasi dan ilmu perkoperasian patut dikuatkan atas dasar ekosistem keilmuan yang utuh dan solid.
Pertama, saat ini koperasi dan perkoperasian diilustrasikan sebagai amanat Konstitusional yang terpinggirkan (Pakpahan, 2025). Koperasi dalam Pasal 33 bukan sekadar badan usaha. Koperasi merupakan instrumen strategis untuk merestrukturisasi susunan ekonomi warisan penjajahan. Mohammad Hatta, sang Bapak Koperasi, menegaskan bahwa koperasi adalah jalan ketiga—bukan kapitalisme, bukan sosialisme, melainkan jalan kekeluargaan yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Koperasi adalah alat dekolonialisasi ekonomi, bukan sekadar entitas bisnis. Namun dalam praktik akademik, koperasi justru direduksi menjadi subtopik dalam ilmu manajemen atau ekonomi mikro. Tidak ada fakultas atau departemen khusus yang mengembangkan epistemologi perkoperasian sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Padahal, koperasi memiliki logika, nilai, dan struktur yang berbeda dari perusahaan kapitalistik. Ia mengandung dimensi sosial, spiritual, dan politik yang khas. Ini yang perlu menjadi perhatian semua pemangku kepentingan mengapa koperasi seperti kehilangan ruh dan jatidirinya. Solusinya antara lain perlunya menguatkan koperasi dan perkoperasian sebagai suatu rumpun ilmu yang ajeg dengan menumbuhsuburkan ekosistem keilmuan seperti ilmu-ilmu lainnya yang sudah dahulu berkembang dan diakui masyarakat luas.
Kedua, koperasi dan perkoperasian perlu lebih mempromosikan diri sebagai keilmuan mandiri melalui reposisi peran dan posisi koperasi dan perkoperasian dalam dimensi fisafat perkoperasian. Dalam bidang filsafat, terdapat tiga pilar utama yang menjadi dasar kerangka pemikiran, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aspek Ontologi berkaitan dengan eksistensi dan sifat dari realitas, serta mempertanyakan apa yang ada dan bagaimana hubungan antarentitas tersebut. Dalam konteks ini koperasi bisa diamati dari eksistensi selama ini sebagai entitas sosial perekonomian masyarakat. Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, yang salah satu bentuknya koperasi. Namun demikian, ide dan praktik mulia koperasi secara pelahan dan terus tergerus dalam kekuatan kapitalisme yang luar biasa. Kehadiran koperasi sering “kalah bersaing” atau terpinggirkan oleh gurita perekonomian Dunia yang bercirikan kapitalistik. Fenomena ini, melahirkan berbagai pikiran untuk melakukan prilaku optimistik melalui gerakan kolektif kolegial dalam membangun koperasi paradigma baru.
Aspek Epistemologi membahas teori tentang pengetahuan, menyelidiki sifat, sumber, dan batasan pengetahuan, serta cara manusia mendapatkan pemahaman terkait dunia. Saat ini ini koperasi dan perkoperasian sedang dilanda penyakit kronis defisit epistemologis yang melumpuhkan. Kegagalan koperasi tidak sesederhana soal modal atau manajemen, melainkan ada krisis pengetahuan yang lebih mendasar. Minimnya body of knowledge yang sistematis menyebabkan setiap koperasi baru harus memulai dari nol, tanpa mekanisme pembelajaran dari pengalaman koperasi lain. Praktik terbaik (best practices) tidak terdokumentasi, kegagalan tidak dianalisis, inovasi tidak disebarluaskan (GWS, 2025).
Aspek Aksiologi berfokus pada nilai dan etika, yaitu mempelajari apa yang dianggap baik atau buruk, serta dasar dalam tindakan dan keputusan moral. Proses aksiologis koperasi antara lain bisa dilihat dari sejarah panjang konsep koperasi M. Hatta dalam “Perspektif Aksiologi Max Scheler”. Hasil yang dicapai antara lain Koperasi M. Hatta diakui sebagai manifestasi ekonomi kerakyatan yang disusun sebagai usaha bersama, dibangun dengan semangat solidaritas dan individualitas, serta dilaksanakan secara demokratis untuk mewujudkan keadilan sosial, menentang kapitalisme secara fundamental. Bentuk aksiologis Koperasi lainnya, antara lain sejumlah praktik baik yang telah berhasil ditorehkan oleh sejumlah Koperasi di Tanah Air, antara lain Koperasi simpan pinjam Keling Kumang di Kalimantan Barat. Ketiga kerangka pemikiran inilah yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi akan menjadi penguat dan perekat koperasi dan perkoperasian sebagai rumpun ilmu mandiri, Ketiga kerangka pemikiran ini saling terkait dan membentuk pandangan yang menyeluruh, mempengaruhi berbagai bidang ilmu, termasuk menjadikan Koperasi sebagai disiplin ilmu mandiri. Yaitu memahami dimensi ontologi, epistemologi dan aksiologi terkait dengan keberadaan, pengetahuan, dan nilai nilai yang terkandung dalam koperasi dan perkoperasian untuk kemaslahatan umat manusia (cooperatives for the purpose of human prosperity).
Ketiga, koperasi dan perkoperasian perlu penguatan ekosistem berbasis kepercayaan dan sistem keilmuan yang kokoh. Dalam perspektif New Institutional Economics -NIE dalam GWS (2025), institusi formal hanya efektif jika didukung oleh sistem kepercayaan (belief systems) dan sistem pengetahuan (knowledge systems) yang kompatibel. Tanpa ekosistem keilmuan yang sistematis, institusi formal koperasi yang kosong tanpa ruh dan makna. Terbatasnya scientific body of knowledge yang terdokumentasi, tidak ada komunitas riset yang aktif, tidak ada paradigma teoretis yang koheren. Koperasi Indonesia adalah badan usaha yang diatur tanpa dipahami, dilembagakan tanpa dipelajari—regulated without being understood, instituted without being studied. Saat ini, perguruan tinggi atau Lembaga yang berkaitan dengan koperasi dan perkoperasian belum melaksanakan tranfer of knowledge ataupun transfer of skills on cooperative secara menyeluruh atau komprehensif. Padahal transfer of cooperative skills dan attitudes on cooperative merupakan kompetensi yang sangat mendasar diperlukan bagi insan pengurus, pembina, pengawas, dan segenap anggota koperasi. Tampaknya, tak cukup kita mengandalkan regulasi pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, yang salah satu bentuknya koperasi. Perlu ada ikhtiar sistimatis melalui Pendidikan koperasi dan perkoperasian secara sistemik. Ide dan praktik mulia koperasi perlu ditanamkan kepada segenap Insan Koperasi agar mereka memiliki kompetensi dan karakter yang baik tentang koperasi. Hal ini, akan melahirkan berbagai pikiran jernih dan inovatif dalam penguatan prilaku berkoperasi. Dengan demikian, koperasi bukan sebatas badan usaha, tetapi koperasi dipandang sebagai center of knowledge dalam memperkokoh koperasi sebagai gerakan untuk menegakan keadilan dan kesejahteraan sosial melalui paradigman baru berkoperasi. Seperti ditegaskan Bung Hatta sebagai “Bapak Koperasi Indonesia”, koperasi harus menjadi landasan sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem hukum di Indonesia.
Keempat, koperasi dan perkoperasian diamati dari prospektif global. Badan Dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (2024) pernah bertanya Koperasi yang bagaimana yang akan dikembangkan. Lantas dijawabnya sendiri, yaitu Cooperatives built a better World. Koperasi yang mampu membangun Dunia yang lebih baik. Dalam Sidang Pleno ke-47, PBB telah mencanangkan Tahun 2025 sebagai Tahun Koperasi Internasional atau the International Year of Cooperatives 2025. Penetapan Tahun Koperasi Internasional ini dengan tujuan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengenali kontribusi koperasi terhadap pembangunan berkelanjutan. Gerakan Koperasi berkaitan erat dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan PBB. Semua negara, berupaya agar tujuh belas SDG ini bisa dilaksanakan dengan baik sesuai dengan komitemen dan kemampuan negara masing masing. Salah satu keunggulan koperasi adalah kemampuan dalam menghasilkan sistem ekonomi yang adil dan inklusif dan memberi maslahat kepada masyarakat Dunia secara lebih berkeadilan. Badan Dunia di bidang pendidikan, pengetahuan, dan kebudayaan atau UNESCO juga memberikan dukungan penuh terhadap koperasi di seluruh Dunia. Badan Dunia ini telah menetapkan gerakan Koperasi sebagai salah satu warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage). Lembaga ini mengakui dan melindungi berbagai praktik dan tradisi budaya, termasuk gagasan dan praktik pengorganisasian kepentingan bersama dalam wadah koperasi. Diakuinya, koperasi merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan berkelanjutan. Koperasi sebagai bentuk warisan budaya takbenda, telah diakui sebagai organisasi yang mampu membangun komunitas dengan azas gotong royong untuk meraih manfaat secara adil dan proporsional.
Dalam konteks Nasional, seyogyanya gerakan koperasi di Tanah Air juga mencanangkan gerakan stimulus dan gerakan pendidikan untuk penguatan ekonomi dan terbukanya lapangan kerja untuk mencapai SDG-1 (tanpa kemiskinan), SDG-2 (tanpa kelaparan), SDG-3 (hidup sehat dan sejahtera), SDG-4 (Pendidikan yang bermutu, termasuk menyelenggrakan Pendidikan Koperasi yang bermutu), SDG-8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi), dan SDG-12 (berkurangnya kesenjangan). Hal ini sejalan dengan semangat Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, untuk kemaslahatan seluruh umat.
Pendidikan Koperasi
Pemilihan kata “Pendidikan Koperasi” dimaksudkan untuk memberi penegasan menjadikan koperasi dan perkoperasian sebagai Rumpun Keilmuan Mandiri (RKM). Semangat berkoperasi dalam Pasal 33 bukan sekadar badan usaha. Koperasi merupakan instrumen strategis untuk merestrukturisasi susunan ekonomi warisan penjajahan. Mohammad Hatta menegaskan bahwa koperasi adalah jalan ketiga—bukan kapitalisme, bukan sosialisme, melainkan jalan kekeluargaan yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Koperasi adalah alat dekolonialisasi ekonomi, bukan sekadar entitas bisnis. Maknanya, koperasi, sebagai sokoguru perekonomian nasional, memiliki peran strategis dalam membangun demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Ekosistem perkoperasian yang sehat, kuat, dan cerdas sangat diperlukan untuk mewujudkan koperasi menjadi institusi ekonomi Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD ‘45.
Ekosistem perkoperasian yang sehat, kuat, dan cerdas tersebut tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan ilmu pengetahuan tentang koperasi dan perkoperasian yang memadai. Ilmu pengetahuan tentang koperasi dan perkoperasian sebagaimana yang diharapkan tersebut tidak akan lahir apalagi terwujud di Indonesia mengingat sampai saat ini koperasi dan perkoperasian belum diakui sebagai rumpun keilmuan mandiri dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia. Saat ini, pengembangan koperasi dan perkoperasian sebagai bidang ilmu dan praktik perkoperasian terhambat oleh ketiadaan kurikulum yang menyeluruh, metodologi, dan institusi pendidikan yang khusus mendalami tentang Koperasi dan perkoperasian. Kondisi ini mendorong perlunya langkah percepatan untuk mengangkat status perkoperasian sebagai Rumpun Keilmuan Mandiri (RKM) dan mengembangkan model institusi yang tepat untuk mendorong percepatannya. Oleh sebab itu, makna “Pendidikan Koperasi” dalam tulisan ini lebih menekankan perlunya status koperasi dan perkoperasian sebagai Rumpun Keilmuan Mandiri (RKM) dengan model institusi/lembaga pendidikan tinggi yang merencanakan dan melaksanakan Tri Dharma Pendidikan tinggi bidang koperasi dan perkoperasian.
Koperasi di Indonesia memiliki legitimasi konstitusional tertinggi melalui Pasal 33 UUD 1945, namun belum diakui sebagai rumpun keilmuan mandiri (RKM) dalam sistem pendidikan tinggi nasional. Akibatnya, pendidikan koperasi atau perkoperasian terfragmentasi, riset terbatas, dan pengembangan SDM koperasi berjalan lambat. (Naskah Akademik Usulan Kebijakan Mengangkat Status Perkoperasian Sebagai Rumpun Keilmuan Mandiri (Ikopin University, 2025).
Di Indonesia, output pendidikan tinggi yang hingga sekarang dihasilkan adalah output dari hasil cara pandang sempit yaitu hanya melihat koperasi atau perkoperasian sebagai subordinat ilmu ekonomi atau manajemen. Belum ada lulusan yang dihasilkan dari Program Diploma ( D1,D2, D3, D4), Program Sarjana, ataupun Program Magister dan program Doktor bidang Koperasi dan Perkoperasian yang dihasilkan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Padahal Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) telah mengamanahkan dan mengatur tentang jenjang, penyetaraan, dan penerapan kualifikasi sumberdaya manusia Indonesia, termasuk sumberdaya manusia di bidang Koperasi dan perkoperasian.
Dalam konteks Kampus Berdampak, Arah Baru Pendidikan Tinggi yang relevan dengan Realitas Sosial (Kemdiktisaintek, 2025) ada tiga motor Transformasi Bangsa, yaitu: (i) Menjadi motor transformasi sosial ekonomi; (ii) menghasilkan inovasi yang relevan; dan (iii) mendukung SDGs. Hal ini sejalan cita- cita untuk menjadikan koperasi dan perkoperasian sebagai rumpun ilmu mandiri agar Kampus Berdampak dalam bidang Koperasi dan Perkoperasian bisa terwujud.
Kampus Berdampak: Motor Transformasi Bangsa
Bila cara pandang koperasi sebagai rumpun ilmu mandiri diterapkan, maka koperasi dan perkoperasian tidak lagi dipandang sekadar wadah formal alat ekonomi, bukan sekadar objek hukum, dan bukan sekadar bagian kecil dari disiplin lain. Sesuai dengan semangat UU nomor 25 koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Sebagai gerakan ekonomi rakyat, maka koperasi dipandang sebagai organisme sosial yang hidup, tumbuh, dan berbuah kesejahteraan. Koperasi secara epistemologis tumbuh dan berkembang sebagai rumpun keilmuan mandiri. Koperasi tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat, dengan tetap berlandaskan perekonomian bangsa ditata sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, dan koperasi adalah wujud nyata dari amanat tersebut. Oleh sebab itu, koperasi sebagai rumpun ilmu mandiri, akan membuka lebar-lebar perkembangan keilmuan termasuk hadirnya koperasi dalam pusaran teknologi digital, termasuk dalam memanfaatkan platform daring dan pemanfaatan artificial intelligent (AI) dalam koperasi dan perkoperasian.
Koperasi Pendidikan
Kata “Koperasi Pendidikan” sengaja dipilih agar hadirnya koperasi sebagai badan usaha sesuai dengan UU RI nomor 25 tahun 1992, juga dalam mengembangkan Koperasi, maka koperasi melaksanakan pula prinsip Koperasi sebagai berikut : (i) pendidikan perkoperasian; dan (ii) kerja sama antarkoperasi. Dengan demikian, koperasi pendidikan pada hakekatnya pengejawantahan dari prinsip Koperasi untuk memberikan layanan pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar koperasi (Pasal 5 ayat 2). Koperasi pendidikan dimaksudkan agar Koperasi (yang maju dan berhasil) wajib memberikan layanan pendidikan perkoperasian, selain layanan seperti lazimnya prinsip koperasi lainnya yaitu keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; pengelolaan dilakukan secara demokratis; pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota; pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; dan kemandirian. Layanan Koperasi dalam memberikan pendidikan dan pelatihan perkoperasian ataupun Koperasi membuka diri untuk tempat Praktik, Magang, bagi mahasiswa yang sedang belajar ilmu koperasi dan perkoperasian.
Praktik koperasi dan perkoperasian di suatu koperasi oleh mahasiswa yang sedang belajar koperasi menjadi pengalaman yang sangat berharga daan memberi dampak langsung pada capaian kompetensi para lulusan. Sama halnya juga pada keilmuan lain, para mahasiswa yang melakukan praktik kerja pada lembaga yang relevan dengan keilmuannya merupakan pengalaman bermakna (meaningful learning experience) untuk meningkatkan kemampuan profesinalnya ketika mereka lulus dan mengabdi di masyarakat.
Sebagai pembanding bidang ilmu lain misalnya, rumah sakit (Rumkit) tertentu berperan sebagai Rumah Sakit Pendidikan (teaching hospital) bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Mahasiswa Keperawatan. Juga dalam bidang Pendidikan Guru, Sekolah Laboratorium atau Sekolah tertentu diberi tugas tambahan sebagai Sekolah pendidikan (teaching school) bagi mahasiswa calon guru pada lembaga pendidikan tinggi kependidikan.
Studi Arets, Jennings, dan Heijnen (2016) menegaskan bahwa pembelajaran berbasis formal (misalnya tatap muka di kelas) berkontribusi kurang lebih sebesar 10%. Sedangkan pembelajaran berbasis sosial (misalnya di masyarakat) secara umum dapat berkontribusi kurang lebihsebesar 20%. Dan pembelajaran berbasis pengalaman nyata (praktik kerja aau praktik industri atau magang pada lembaga yang relevan) berkontribusi kurang lebih sebanyak 70% terhadap peningkatan kompetensi. Oleh sebab itu, dalam konteks koperasi dan perkoperasian, perlu keterbukaan koperasi yang sudah maju dan berkinerja baik, untuk menjadi tempat menimba ilmu bagi para mahasiswa yang sedang belajar koperasi. Koperasi ini telah melaksanakan salah satu fungsi penting yaitu layanan pendidikan perkoperasian (sesuai Pasal 5 ayat 2 UU nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian).
Kesimpulan
1. Saat ini koperasi dan perkoperasian diilustrasikan sebagai amanat Konstitusional yang terpinggirkan. Koperasi dalam Pasal 33 bukan sekadar badan usaha. Koperasi merupakan instrumen strategis untuk merestrukturisasi susunan ekonomi warisan penjajahan. Mohammad Hatta, sang Bapak Koperasi, menegaskan bahwa koperasi bukan kapitalisme, bukan sosialisme, melainkan jalan kekeluargaan yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
2. Koperasi dan perkoperasian perlu lebih mempromosikan diri sebagai keilmuan mandiri melalui reposisi peran dan posisi koperasi dan perkoperasian dalam dimensi filsafat perkoperasian. Dalam bidang filsafat, terdapat tiga pilar utama yang menjadi dasar kerangka pemikiran, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
3. Koperasi dan perkoperasian perlu penguatan ekosistem berbasis kepercayaan dan sistem keilmuan yang kokoh. Yaitu koperasi sebagai institusi formal efektif jika didukung oleh sistem kepercayaan (belief systems) dan sistem pengetahuan (knowledge systems) yang kompatibel.
4. Dalam perspektif global, koperasi dan perkoperasian menuju pada Cooperatives built a better World. Koperasi yang mampu membangun Dunia yang lebih baik. Gerakan Koperasi berkaitan erat dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan PBB.
5. Pendidikan Koperasi dimaksudkan untuk memberi penegasan menjadikan koperasi dan perkoperasian sebagai Rumpun Keilmuan Mandiri (RKM). Ekosistem perkoperasian yang sehat, kuat, dan cerdas tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan ilmu pengetahuan tentang koperasi dan perkoperasian yang memadai. Ilmu pengetahuan tentang koperasi dan perkoperasian tidak akan lahir mengingat sampai saat ini koperasi dan perkoperasian belum diakui sebagai rumpun keilmuan mandiri dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia.
6. Koperasi pendidikan pada hakekatnya pengejawantahan dari prinsip Koperasi untuk memberikan layanan pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar koperasi (Pasal 5 ayat 2). Koperasi pendidikan dimaksudkan agar Koperasi (yang maju dan berhasil) wajib memberikan layanan pendidikan perkoperasian, selain layanan seperti lazimnya prinsip koperasi lainnya. Koperasi pendidikan yaitu layanan koperasi yang memberikan pendidikan dan pelatihan perkoperasian bagi anggota atau masyarakat umum sebagai tempat Praktik, Magang. ***
Prof. Dr. Dinn Wahyudin, M.A., Warek-1 IKOPIN University.





