Pendidikan Politik Kader Bangsa

FOTO ARTIKEL 2
Najip Hendra SP, (Foto: Dok. Pribadi).

Oleh Najip Hendra SP

POLITIK sejatinya tak melulu soal bagaimana merebut kekuasaan (how to get the power). Politik dalam wujudnya yang paling sempurna menyangkut persoalan yang jauh lebih substansial, yakni tentang membangun dan menata sebuah negara. Begitu kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno dalam sebuah media nasional tiga tahun lalu.

Tentu, idealisasi politik tersebut tidak bisa dilakukan serta merta. Butuh jalan panjang untuk melahirkan kader politik matang sekaligus seorang negarawan. Seorang kader politik butuh pendidikan politik memadai. Dia yang dipersiapkan secara terstruktur dan berkesinambungan. Selebihnya adalah jam terbang dan kemampuan untuk membaca tanda-tanda zaman yang bergerak. Tanpa dua hal tadi, kita seperti menyerahkan nasib kepada para amatir dan fragmatis.

Dengan demikian, hadirnya sebuah pendidikan politik kader bangsa menjadi keniscayaan. Dan, itulah yang kini menjadi concern Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI). Pendidikan Politik Kader Bangsa (P2KB) merupakan jawaban atas kegundahan SOKSI terhadap wajah politik di Republik ini. SOKSI bertekad mengembalikan jati diri sebagai wadah pembentukan kader-kader bangsa, calon-calon pemimpin di tanah air.

Di mata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) SOKSI Ahmadi Noor Supit, kaderisasi hampir semua partai politik di Indonesia tidak berjalan dengan benar. Karena itu, SOKSI tidak boleh lagi membiarkan seorang pemimpin lahir dari proses tidak benar.

“Di mana-mana parpol tidak lagi melakukan kaderisasi yang benar, sehingga pencalonan pemimpin dari partai bukan kader, tapi siapa yang bisa bayar. Begitu lama seorang kader mengabdi di suatu organisasi masyarakat dan partai politik, tapi ketika ada rekrutmen yang berkesempatan adalah yang bisa membayar,” tegas Ahmadi seperti dikutip kabargolkar.com.

“SOKSI harus bisa memberikan kader pilihan terbaik untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Untuk itu, SOKSI harus kembali melakukan kaderisasi kepemimpinan. SOKSI tidak kenal kader lompat sana lompat sini. Kita sebagai organisasi selalu kenal siapa yang memimpin SOKSI,” lanjut Ahmadi.

Jati Diri SOKSI

Sejatinya pernyataan nakhoda SOKSI bukan hal yang sama sekali baru. Jauh sebelumnya, sang pendiri Suhardiman sudah menggariskan SOKSI sebagai laboratorium kader bangsa dan kawah candradimuka para pemimpin bangsa. Dengan kata lain, jati diri SOKSI adalah kaderisasi kepemimpinan.

Suhardiman meyakini bahwa bangsa ini hanya akan mungkin mencapai tujuan jika dipimpin kader-kader politik yang memiliki wawasan kebangsaan komprehensif, memiliki kemampuan antisipatif terhadap berbagai tantangan zaman. Di mata Agun Gunandjar Sudarsa, Wakil Ketua Umum SOKSI sekaligus pendiri Rumah Cuklik yang didedikasikan sebagai pusat kegiatan P2KB, Suhardiman merupakan sosok yang mampu membaca arah pergeseran, pergerakan, dan perubahan sebuah masyarakat, serta perkembangan sebuah bangsa dan negara ke depan.

Karena itu, pendidikan politik kader bangsa yang ditorehkan Suhardiman bukan semata melahirkan seorang kader dengan fisik sehat. Lebih dari itu adalah membentuk wawasan, pemikiran, kemampuan analisis terhadap sejumlah problematika kehidupan berbangsa dan bernegara. Lulusan P2KB diharapkan menjadi kader yang berorientasi masa depan serta merawat dan membentengi kehidupan Pancasila (kangagun.com).

Spirit kembali ke jati diri itu yang kemudian menjadi tema sentral Musyawarah Nasional (Munas) XI pada 2020. Spirit itu pula yang tumbuh di Jawa Barat. Ketua Dewan Pimpinan Daerah (Depidar) SOKSI Wilayah IX Jawa Barat Yod Mintaraga menegaskan komitmennya untuk menjaga marwah SOKSI sebagai laboratorium kader pemimpin melalui P2KB.

Bukan sekadar basa-basi. Yod sudah mengagendakan enam angkatan P2KB sepanjang periode kepemimpinan keduanya yang akan berakhir lima tahun ke depan. Sebelumnya, SOKSI Jawa Barat di bawah kepemimpinan Yod sudah menghasilkan 300 kader lulusan P2KB. Dalam hal ini, SOKSI Jawa Barat berada selangkah di depan dalam membangun tradisi kaderisasi kepemimpinan.

P2KB Kekinian

Tonggak telah berdiri. Tradisi sudah berjalan. Selanjutnya adalah bagaimana sebuah proses pendidikan kader bisa berkesinambungan sekaligus adaptif terhadap perubahan dan tuntutan zaman. Hal ini sangat penting mengingat perubahan bergulir cepat, makin cepat, meluluhlantakkan kemapanan lama. Untuk itu, perlu adanya pembaruan baik dari sisi substansi maupun metode pembelajaran.

Lanskap politik dan ekonomi kita mengalami pergeseran seiring masuknya era Revolusi Industri 4.0 sejak paruh pertama abad ke-21. Era Revolusi Industri mengintegrasikan teknologi industri, teknik informatika, dan perkembangan teknologi jaringan internet dan digital. Lanskap ini yang kemudian harus mampu dijawab kader-kader bangsa jebolam P2KB SOKSI. Kader bangsa tidak saja harus mampu mengorganisasi akar rumput, melainkan harus mampu terjun dalam medan digital.

Dengan demikian, materi-materi P2KB harus mengakomodasi kebaruan tersebut. P2KB harus melahirkan kader bangsa yang mampu mengaplikasikan pola kepemimpinan transformasional. Yakni, seorang pemimpin yang mampu mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target capaian yang telah ditetapkan (Danim, 2004).

Di antara sederet kebaruan tersebut tampaknya aspek digital patut mendapat sorotan utama. Literasi digital menjadi prasyarat utama kader bangsa di tengah disrupsi dan perang proksi (proxy war) yang tengah melanda bangsa kita. Tanpa kompetensi literasi digital, seseorang hanya akan menjadi sasaran empuk setiap serangan yang datang bertubi tanpa kenal ampun.

Jurnal Pertahanan dan Bela Negara Volume 1 Nomor 1 (2017) merinci sejumlah perang proksi di Indonesia. Sebut saja misalnya kerusuhan akibat konflik horizontal, tumbuhnya paham radikalisme dan anti Pancasila, dan maraknya berita sampah (hoax) untuk membangun narasi informasi sesat. Bentuk lainnya adalah isu SARA untuk memicu instabilitas keamanan, desakan untuk mengganti dasar negara, dan teror tempat ibadah. Di sini, media digital menjadi medium paling subur bagi tumbuhnya perang proksi yang dikendalikan dan dikelola pihak di luar sana.

Bagi SOKSI, jelas perang ideologis ini menjadi sangat relevan. Sejarah kelahiran SOKSI itu sendiri tidak lepas dari upaya mempertahankan ideologi bangsa dari rongrongan ideologi yang bertentatangan dengan Pancasila. SOKSI adalah pembela dan pengawal Pancasila.

Sebagai perbandingan, ada baiknya mengintip sejumlah materi yang disajikan Golkar Institute dalam program pendidikan bagi pemimpin politik muda. Diawali dengan dialog bertajuk “Perubahan Teknologi, Lingkungan, dan Peran Pemuda dalam Pendekatan Baru Pembangunan Indonesia”, program ini benar-benar menyajikan materi yang boleh dibilang “daging” semua. Sebagai sekolah pemerintahan dan kebijakan publik, materi yang disajikan Golkar Institute fokus pada peningkatkan kualitas kader dengan tiga pilar kemampuan: ekonomi, politik, dan kepemimpinan.

Ada 17 materi keren yang menjadi menu bagi calon pemimpin muda Partai Beringin tersebut. Sebut saja misalnya situasi geopolitik global, pembangunan Indonesia, pandangan ekonomi dan instrumen kebijakan publik, sistem politik, partai politik, dan Pemilu di Indonesia. Kemudian geopolitik dan pertahanan nasional, komunikasi politik, negosiasi dan resolusi konflik, workshop komunikasi publik, kepemimpinan transformatif, administrasi dan reformasi birokrasi, manajemen risiko korupsi, dan lain-lain.

Paket materi Golkar Institute bukan saja komplet, melainkan sangat aktual. Penting bagi SOKSI untuk menjadikannya sebagai bencmark dalam rangka meramu kembali P2KB yang lebih kekinian. Ini yang kemudian menjadikan SOKSI selalu di depan sebagai laboratorium kader bangsa.***

Najip Hendra SP, Kader SOKSI/Sekretaris Wira Karya Indonesia Jawa Barat

(Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili organisasi)