Penggiat Buku: Menyusuri Jejak di Tepi Pantai dan Lembar Memoar

Oleh Didin Tulus

WhatsApp Image 2024 12 28 at 05.51.49
Salah satu koleksi Muzium Nelayan Tanjung Balau. (Foto: Didin Tulus)

7 Desember 2018

ADA sesuatu yang magis tentang sebuah perjalanan—seperti lembar kosong dalam buku harian yang menanti untuk diisi. Hari itu, aku bersama beberapa teman berkeliling di Muzium Nelayan Tanjung Balau. Muzium yang berlokasi di di Distrik Kota Tinggi, Johor, Malaysia itu menawarkan sesuatu yang berbeda, terutama bagi seseorang seperti aku yang sudah lama akrab dengan dunia pantai dan para nelayan di Pangandaran.

Namun, tak bisa kupungkiri, muzium ini memancarkan daya tarik yang unik. Koleksi-koleksi di sana membuatku takjub, dari alat-alat tradisional hingga replika perahu nelayan yang dihias dengan seni rupa khas. Meski begitu, ada sesuatu yang terasa kurang—aku tidak menemukan alat menganyam jaring. Di Pangandaran, alat ini begitu familiar bagiku. Benang plastik yang disebut kenur, garpu kecil yang digunakan untuk menganyam, dan gerakan tangan yang luwes mengubah benang menjadi jaring, adalah kenangan hidup dari masa lalu yang selalu melekat. Andai alat itu ada di muzium, cerita tentang nelayan rasanya akan semakin lengkap.

Aku terus melangkah, mencoba mengabadikan momen dengan kamera ponselku. Tapi malang, baterainya mati di saat aku sangat membutuhkannya. “Ah, sayang sekali,” gumamku, sedikit kecewa.

Untungnya, beberapa teman mengambil foto di sekitar muzium. Aku berharap salah satu dari mereka mengabadikan diriku di tengah perjalanan ini.

Ada satu perahu kecil yang menarik perhatianku. Ukirannya indah, dihiasi pola tradisional yang seolah berbicara dalam bahasa yang tidak bisa kusentuh sepenuhnya, tapi mampu kurasakan. Perahu itu bercerita tentang sejarah, tentang keberanian para nelayan yang menantang ombak untuk mencari nafkah. Hiasan-hiasan itu seakan menjadi simbol keberanian dan harapan, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi begitu terasa.

Gambar-gambar di dinding muzium juga tak kalah memukau. Alat peraga 3D yang mereka sediakan memberi penjelasan visual yang membuat kisah Tanjung Balau lebih hidup. Dalam hati, aku tergerak untuk memahami lebih dalam sejarah tempat ini—bagaimana para leluhur hidup, berjuang, dan membangun kisah di sepanjang garis pantai.

Saat rasa puas mulai menyelimuti, aku menyempatkan diri menulis di buku tamu. Sebuah kebiasaan kecil yang selalu kulakukan di setiap tempat yang kukunjungi. Aku suka meninggalkan jejak pena di sana, sebagai pengingat bahwa aku pernah menjadi bagian dari momen itu. Di buku tamu tersebut, kulihat beberapa nama yang sudah tak asing. Nama-nama seperti Dato Ahmad Khamal Abdullah, Ratnasam Sib II, Norazimah Abu Bakar, dan beberapa nama lain mengisi halaman-halaman itu.

Bagi sebagian orang, menulis di buku tamu mungkin hanya dianggap sepele, semacam rutinitas yang tak berarti. Tapi bagiku, buku tamu memiliki makna yang lebih dalam. Aku teringat sebuah buku unik yang pernah kutemukan bertahun-tahun lalu—kumpulan catatan dari buku tamu yang disusun menjadi sebuah buku berisi pesan dan kesan orang-orang penting dalam dunia sastra dan perbukuan. Aku lupa judulnya dan tahun terbitnya, tapi aku pernah menjualnya di pameran buku di Jakarta dengan harga yang cukup mahal, sekitar 500 ribu rupiah.

Buku itu adalah harta karun. Tebalnya hampir 200 halaman, penuh dengan pesan-pesan dari tokoh besar seperti WS Rendra, Kang Ibing, hingga menteri kebudayaan di era Soeharto. Saat itu, seorang kolektor membelinya dariku. Bagiku, buku tamu bukan sekadar lembaran kertas yang diisi asal-asalan. Ia adalah pengingat jejak, sebuah arsip kecil yang menyimpan sejarah dan cerita dari beragam orang.

Hari itu, aku menutup kunjunganku di muzium dengan rasa syukur dan sedikit nostalgia. Meskipun kunjungan ini tidak kulengkapi dengan swafoto seperti kebanyakan orang, kenangan ini telah terpatri kuat di dalam benakku. Seperti kebiasaan para nelayan yang menenun jaring dengan hati-hati, aku pun merangkai kenangan dari perjalanan ini menjadi bagian dari memoar hidupku.

Aku sering berpikir, apakah jejak kecil yang kita tinggalkan di buku tamu itu akan menjadi sesuatu yang berarti di masa depan? Siapa tahu, mungkin ada seorang kolektor lain di masa mendatang yang akan membaca namaku di lembar buku tamu ini, bertanya-tanya siapa aku dan bagaimana ceritaku. Seperti seorang penulis yang meninggalkan buku di rak perpustakaan, aku percaya setiap catatan adalah bagian dari sejarah yang menunggu untuk ditemukan.

Dan hari itu, di muzium kecil di tepi pantai Tanjung Balau, aku merasa menjadi bagian dari cerita yang lebih besar—sebuah cerita tentang lautan, nelayan, dan buku-buku yang menghubungkan masa lalu, sekarang, dan masa depan. ***

Didin Tulus, penggiat buku, tinggal di Cimahi.