ZONALITERASI.ID – Pesantren di berbagai daerah telah banyak mengembangkan lembaga pendidikan sesuai perkembangan zaman namun tidak tercerabut dengan akar sosial masyarakat dan tradisi keilmuannya.
Salah satu pengembangan pesantren berdasarkan kebutuhan masyarakat dilakukan oleh Pondok Pesantren Al-Muhajirin, di Jalan Veteran 155 Kelurahan Nagrikaler, Kecamatan/Kabupaten Purwakarta. Pesantren asuhan Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Purwakarta, K.H. Abun Bunyamin ini mengembangkan pesantren milenial dan pesantren lanjut usia (lansia).
“Kami menyadari bahwa kebutuhan pendidikan pesantren juga tidak hanya diingini oleh para orang tua untuk anak-anaknya, tetapi juga menjadi kebutuhan orang-orang yang telah lanjut usia,” kata Kiai Abun, baru-baru ini.
Program pengembangan pesantren lansia di Pesantren Al-Muhajirin berangkat dari prinsip mencari ilmu, uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi (tuntutlah ilmu dari ayunan/buaian hingga liang lahat). Ini prinsip mendasar bahwa mencari dan menuntut ilmu bersifat dawam atau berkelanjutan tanpa batas usia bahkan menjelang kematian menjemput.
Dalam pesantren lansia ini, orang tua yang sudah lanjut usia bisa memanfaatkan fasilitas pesantren untuk memaksimalkan pengajaran ilmu dengan tetap mondok.
“Tidak hanya ngaji, keterampilan lain juga akan diusahakan pihak pesantren agar para orang tua tetap produktif menghasilkan karya dan produk yang bermanfaat untuk masyarakat,” terangnya.
Untuk pesantren milenial, lanjut Kiai Abun, generasi milenial perlu ditampung dalam pendidikan pesantren. Caranya dengan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan mereka di era milenial yang serba digital.
“Fenomena generasi milenial tidak menjadi kegelisahan bagi kami. Dari realitas perkembangan generasi tersebut, kami justru ingin mengembangkan pesantren milenial, namun tetap berakhlak salaf dan berakidah Aswaja,” ujarnya.
Perluas Khazanah Santri
Selain tetap memrioritaskan sistem pendidikan berbasis salaf (pengajian kitab kuning) sebagai metode pembelajaran, Pesantren Al-Muhajirin juga berusaha mengembangkan pendidikan berbasis pengembangan kreativitas, intelektualitas, spiritualitas, dan bakat minat santri.
Menurut murid K.H. Ilyas Ruhiyat (Rais Aam PBNU 1994-1999) itu, integrasi pendidikan ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperluas khazanah santri dalam menggali ilmu pengetahuan. Sampai saat ini, Pesantren Al-Muhajirin telah berhasil membudidayakan kemampuan tersebut untuk kepentingan banyak pihak.
“Pesantren Al-Muhajirin pun mengembangkan metode bilingual. Melalui visi ini, santri ditekankan agar mahir bahasa Arab dan bahasa Inggris. Sehingga mereka mampu menyesuaikan kondisi dan tantangan zaman milenial. Selain itu, pesantren ini mengembangkan keterampilan para santri di bidang ekonomi, dengan mendirikan BLK (Balai Latihan Kerja),” ucapnya.
Berpikir Dinamis
Ya, kunci yang ditekankan K.H. Abun kepada para pendidik dan pengelola pendidikan di yayasannya ialah berpikir dinamis.
Prinsip dinamisme ini terkait dengan motto Pesantren Al-Muhajirin. Berpikir dinamis ialah konsep pemikiran, “Yang baru harus digunakan dan yang lama jangan ditinggalkan.”
“Kalau tidak ada konsep dan inovasi baru, kita akan jenuh. Maka diskusi, membaca, seminar atau studi banding bisa kita lakukan agar semua yang berada di Al-Muhajirin bisa berpikir dinamis,” kata Kiai Abun yang menamatkan program doktoral bidang tafsir di UIN Syarif Hidayatullah.
Selain berpikir dinamis, motto pesantren ini menekankan akhlak salaf dan akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Kiai Abun menegaskan prinsip keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah dalam setiap lembaga pendidikan yang didirikannya.
“Paham keagamaan, guru, staff, dan pegawai Yayasan Al-Muhajirin harus berakidah Aswaja. Annahdliyah indikasinya ada tiga yaitu dalam akidah mengikuti pemikiran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi, dalam akhlak atau tasawuf mengikuti pemikiran Imam Al-Ghazali, dan dalam Ibadah mengikuti Imam Syafi’i dan amalan yang sudah menjadi tradisi di NU seperti tahlilan, yasinan, marhabaan, dan haulan,” terangnya.
Sejarah Pesantren
Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta berdiri pada 1993. Selama kurun waktu 10 tahun pertama, Kiai Abun harus menghadapi teror sekelompok orang di Purwakarta. Mereka tidak senang dengan kehadiran pesantren ini. Ketidaksukaan mereka pun tak beralasan. Teror berupa ancamana lisan, pelemparan ke bangunan pondok pesantren, hingga pembakaran bangunan santriwati.
Tak hanya itu, Kiai Abun juga secara langsung menerima ancaman pembunuhan agar menghentikan pembangunan pesantren. Namun, Kiai Abun terus bergerak. Perlahan dan pasti, bangunan pondok pesantren berdiri di tanah luas di daerah Kebon Kolot, persis di belakang kantor Polres Purwakarta.
Segala jenjang pendidikan Islam, mulai TK hingga SLTA, dan perguruan tinggi dilahirkan Kiai Abun. Bahkan, saat ini juga berdiri tiga cabang Pesantren Al-Muhajirin.
Perjuangannya pendidikan pesantren yang dikembangkannya itu tidak terlepas dari peran para gurunya di Pesantren Cipasung Tasikmalaya.
“Pendidikan Pesantren yang diajarkan di Cipasung telah memberikan banyak hal. Bahkan, tanpa Pesantren Cipasung, Pesantren Al-Muhajirin tidak akan berdiri kokoh sampai saat ini.
“Pesantren ini tidak ada apa-apanya kecuali karena Pesantren Cipasung,” ujarnya.
Kini, Pesantren Al-Muhajirin mempunyai sekitar 6.000 santri dan tak kurang dari 600 asatidz. Bahkan salah satu dari tiga pesantrennya tersebut menjadi lembaga pendidikan Islam favorit di Purwakarta.
Yayasan Al-Muhajirin dipimpin oleh putri Kiai Abun, Hj. Ifa Faizah Rohmah. Perempuan kelahiran Purwakarta, 20 Mei 1980 ini menamatkan program doktoralnya di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. (des)***
Sumber: nu.or.id