ZONALITERASI.ID – Hujan di bulan Maret jatuh sejak siang. Memang tak terlalu deras, hingga tak menyurutkan tekad para panitia ‘Rihlah Ramadhan-Pesantren Literasi 1446 H./2025 M.’ untuk melanjutkan sesi dua acara tersebut di Pondok Pesantren (Pontren) Darul Falah, yang berada di Jalan Raya Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu 15 Maret 2025.
Sekira 1.500-an santri dan santriwati, serta puluhan pengasuh Pontren Darul Falah dan jajaran pengurus PC dan MWC NU Kabupaten Bandung Barat, mulai memadati pelataran dasar Masjid Besar yang dikelilingi bangunan pesantren dan pondok, sejak pukul 16.00 WIB, atau bada salat ashar.
Usai MC memaparkan tujuan kegiatan serta jadwal acara, sambutan diberikan perwakilan dari Pontren Darul Falah, Kyai A. Tahqiq Fathoni, yang juga sebagai Wakil Ketua PCNU Kabupaten Bandung Barat.
“Ini memang kegiatan yang luar biasa, dan merupakan formula baru bagi sosialisasi bentuk-bentuk literasi kepada kaum santri. Ke depan, acara seperti ini harus dilanjutkan dan diukung penuh oleh warga Nahdhatul Ulama. Para santri dan ustad juga para kyai, yang sudah terbiasa dengan literasi keagamaan, dapat menyerap bentuk sajian lain dari ilmu pengetahuan yang banyak macamnya. Bukan saja sajian sastra seperti puisi maupun prosa, semoga ke depannya ada juga sajian yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang sangat luas itu, seperti ekonomi, sosial, ekologi, dan lain-lain,” ujarnya, penuh antusias, yang disambut meriah hadirin.
Usai sambutan, sekira 5 santri putra dan 5 putri, menerima bingkisan dari sponsor sebagai wakil 40 santri lainnya santunan diberikan Ketua PCNU Kabupaten Bandung Barat, K.H. Yusuf Abdul Qodir, Ketua Lazisnu PCNU Kabupaten Bandung Barat, H. Aceng Mukmin, dan Dian Nurdiana Direktur Muti Corp.
Pada sajian acara pertama, tampil perupa Rudi St. Darma dengan performing art atau seni pertunjukkan, sebuah karya seni baru yang merupakan format lain dari drama tunggal tanpa naskah, namun punya konsep tertentu dalam alur ceritanya.
Membawa gerobak mini yang berisi buku-buku terpotong, perupa alumni Seni Rupa IKIP Bandung ini, menyajikan tema ‘Buku, Ilmu, dan Amal, serta ‘Etika dan Adab Santri’. Berbalut celana, pakaian, serta kerudung hitam, tampilannya membuat para penonton merasa aneh sekaligus takjub.
Sedang pada penampilan kedua, Gusjur Mahesa, membacakan puisi yang kocak berjudul ‘Puasaku Untukku’ hingga membuat hadirin tertawa riuh. Apalagi saat Gusjur membacakan puisinya yang terkenal ’Mending Gelo Daripada Korupsi’ yang mencengangkan dan dibacakan secara atraktif.
“Saya membawa dua buku, satu berjudul ‘Mending Gelo Daripada Korupsi’, dan ‘Mending Edan Daripada Kebagian Korupsi’. Buku puisi ini merupakan renungan saya mengenai banyaknya kasus korupsi di negeri ini. Saya simpulkan bahwa saya lebih baik gelo atau gila daripada harus korupsi,” ucap Gusjur.
“Nah, apakah kalian ingin gelo atau korupsi?” tanya Gusjur Mahesa dengan nada tinggi kepada ribuan santri yang nampak tersenyum-senyum.
“Gelooooo!” teriak riuh jawaban spontan para santri yang diiringi tawa panjang semua yang hadir, nyaris menenggelamkan suara hujan yang setia membawa rintiknya di seputar kawasan pesantren yang terbilang besar di Kabupaten Bandung Barat itu.
Sesi berikutnya, sastrawan Eriyandi Budiman yang juga menjadi moderator, memaparkan harapannya agar para santri rajin membaca serta menulis, yang bisa dimulai dengan cerita keseharian para santri atau suasana di pesantren.
“Para santri atau pun santriwati di kalangan Nahdhatul Ulama, dapat membuat puisi seperti K.H. Mustofa Bisri, atau pun prosa fiksi dalam bentuk cerita pendek, maupun novel seperti Fauz Noor dan Anwar Fuadi. Nah, siapa tahu di Pontren Darul Falah ini, nanti muncul penulis cerpen hingga novelis. Itu akan membawa nama harum pesantren, apalagi kalau novelnya dibuat film,” tandasnya yang disambut riuh ucapan aamiin dari para santri putra dan putri yang dipisahkan penghalang kayu setengah badan.
“Saya juga membawa kumpulan puisi karya para sastrawan muda Nahdhatul Ulama berjudul ‘Kemarau Di Surga’. Buku ini digagas Komunitas Kuluwung, Tasikmalaya, yang diinisiasi oleh Diwan Mastnawi, putra penyair Acep Zamzam Noor dari Pesantren Cipasung Tasikmalaya. Temanya tentang lingkungan atau ekologi dan berbasis sosial religius. Buku ini juga merupakan kerjasama Lesbumi Jawa Barat dan Walhi Jawa Barat. Mungkin nanti para santri di sini, dapat membuat antologi puisi semacam ini!” ujarnya yang diamini hadirin.
Sesi lanjutan kemudian berupa pemaparan Rudi St. Darma, perupa yang sudah malang melintang ke berbagai negara, mengenai makna seni pertunjukkan yang ia gelar pertama kali di pesantren itu.
“Saya sangat terharu dan berbahagia dapat berbagi penampilan di sini. Pasti semua banyak yang heran dan mungkin bertanya-tanya mengenai pertunjukkan tadi. Yang saya hadirkan ialah bahwa buku itu sebagai jendela ilmu dan membaca sebagai kuncinya. Dengan buku, kita dapat memperkaya ilmu pengetahuan, menjadikannya amal yang sholeh, sehingga nilai-nilai keagamannya dapat terus dikembangkan,” tuturnya, sambil menerangkan makna lain properti atau peralatan yang ia bawa.
Sedangkan Gusjur Mahesa, mengajak para santri agar rajin membaca dan mampu menulis, sebagai bentuk kreativitas, agar para santri makin literatif dan pesantrennya lebih berdaya guna.
Sebagai penutup, Eriyandi Budiman, menyitir ucapan Imam Syafi’ie. ”Tubuh kita akan berharga, kalau memiliki jiwa. Jiwa kita akan berharga kalau memiliki ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan berharga jika ada amalnya atau diamalkan. Dan amal kita akan berharga, kalau dilakukan secara ikhlas,” tandasnya. ***