Karya Ali Hambali
MOBIL yang semula sirenenya terdengar seperti bunyi nyamuk di telinga, kini sudah berada di depan gang dengan suara meraung-raung yang memakakkan. Datang satu mobil dengan kepanikan, lalu pergi dan datang raungan yang lain dengan kepanikan lagi, terus berganti. Entah sudah berapa kali. Orang-orangtua yang membopong korban miras itu panik tak sempat bersedih hati. Keringat bercucuran dengan badan gemetar kelelahan.
Kejadian itu menjadi obrolan yang menarik perhatian di Warung Doyong karena lucu bagi mereka. Bagi para perempuan yang menemani peminum dan juga bagi peminum serta pedagang miras, itu adalah topik perbincangan yang paling gress.
“Lu liat gak kemaren, gile lucu banget!”
“Apaan?”
“Temen-temen si Bondan pada semaput diangkut dari rumah pake ambulan.”
“Yang gue gak nahan, ada bapak-bapak kain sarungnya melorot bopong si Bagong.”
Semua yang sedang menenggak miras pun tersedak tak kuat menahan gelak tawanya. Perempuan sexy itu jadi semakin genit mengelap tumpahan miras yang tersembur ke wajah, baju, bahkan masuk ke pakaian dalamnya.
Warga menyebutnya Warung Doyong karena bangunannya memang sudah tidak bisa tegak lagi. Banyak makanan dan aneka minuman, dan obat-obatan dijual warung itu. Yang berkunjung untuk mengonsumsi miras oplosan bukan cuma orang dewasa, tapi juga orang-orang tua yang sudah uzur bahkan anak sekolah. Mereka bisa menikmati di tempat sambil foto-foto selfie atau dibawa pulang.
Semulanya warung doyong adalah warung makan sederhana untuk para pengendara yang melintas. Dagangan yang dikonsumsi sebatas makanan dan minuman sekadar mengganjal perut-perut orang kelas bawah. Menjual dagangan yang haram agak ragu dan takut karena ustaz-ustaz pengelana berjanggut lebat seringkali singgah dan berbincang mengajak salat berjamaah dan beramal kebaikan kepada penjual dan para pengendara yang singgah.
Semenjak warga kampung setempat acapkali mengusir ustaz pengelana itu, maka warung doyong kini berani tidak hanya mendagangkan minuman haram tapi juga perempuan.
Selanjutnya warung doyong menjadi tempat favorit bagi para sopir dan kernet mobil truk yang melintas. Mereka mampir beberapa saat untuk mencari kepuasan dan hiburan yang dianggapnya layak sebagai upaya mengapresiasi diri mereka sendiri atas kegigihan mereka mencari uang.
Para aparat keamanan pun sering bermain perempuan dan menenggak miras sambil menagih setoran keamanan di warung itu.
“Mang Ucep, sini mampir!” bujuk janda muda itu dengan genitnya kepada petugas yang ragu-ragu singgah.
Petugas yang mukanya keruh itu pun mampir. Duduk lalu memesan miras dalam botol isi ulang.
Harga botolnya jauh lebih mahal dari harga mirasnya. Untuk gaya-gayaan memang tidak kalah dibandingkan miras yang biasa ditenggak para cukong di hotel atau di klab malam. Merek botolnya aneka rupa dengan bentuk-bentuk yang menarik seperti Whisky, Anggur Merah, New Port, Countru, Asoka, Topi Miring Vodka, dan lain-lain.
Kegenitan perempuan sebagai pelayan dan kedermawanan pemilik warung yang tidak rewel walau sering dihutang, membuat warung doyong ini menjadi tempat termasyhur bagi penggila khomar.
Pemilik warung sepertinya sudah melatih para perempuan itu tidak saja untuk menjadi genit tapi juga jago bersilat lidah. Menjungkirbalikkan nilai-nilai kebenaran demi menghibur pengunjung yang sudah hampir memilih mati sebagai solusi.
Mereka yang merasa terselesaikan masalah kehidupannya dengan menenggak miras, kemudian menjadi pengunjung setianya. Beda orang maka beda permasalahan hidupnya. Pengunjung setia kemudian menjelma menjadi layaknya seorang konselor yang ahli untuk segala permasalahan orang lain. Cuma di warung inilah segala unek-unek kegagalan hidup dapat terkuras habis tanpa perlu nasihat yang membebankan.
Berdasarkan pengakuan mereka saat menenggak miras oplosan, banyak terungkap kegagalan pemerintah negeri ini mengurusi kebutuhan hidup warga negaranya. Banyak pekerja pabrik yang lama menganggur kena PHK yang hampir saja memilih membunuh anak-istri. Sarjana pengangguran yang patah semangatnya dipecundangi Tenaga Kerja Asing dari China, hampir berniat menabrakkan diri di perlintasan rel kereta api. Penderita penyakit kronis yang frustrasi tak kunjung sembuh, juga hampir gantung diri karena selalu dipersulit pengurusan pengobatan oleh pihak BPJS yang katanya selalu merugi. Anak-anak remaja dari keluarga brokenhome yang juga hampir menusukkan diri dengan pisau belati. Orang miskin yang yang sudah muak dengan segala janji manis program kesejahteraan pemerintah, nyaris membakar diri. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Syukurnya semua terselamatkan berkat warung doyong ini, setidaknya untuk sementara waktu.
Mereka berkumpul di sana juga sebagai peminum miras setia. Setia karena sensasi rasa miras yang eksotis dengan harga yang fantastis murahnya. Racikan mirasnya tentu saja vairatif. Zat metanol dan etanol dicampur soda dan obat nyamuk cair atau obat tetes mata atau salep atau lem cair atau apa saja.
“Bang Benjol, racikannya jangan yang kayak kemarin. Hampir meledak paru-paru gue.”
“Ah, ente segitu itu belum apa-apa” timpalnya.
” Lihat si Brojol tuh keren, racikan mirasnya lebih yahud!”
“Iya Bang Brojol jantan banget! Naksir deh gue!” perempuan genit itu membujuk.
Sementara yang baru tiba di warung itu menyempatkan diri dulu bercanda dengan perempuan genit. Setelah bosan dimacam-macamkan lalu si genit mengarahkan untuk bergabung dengan yang lain menenggak miras. Mereka yang sudah banyak minum itu berdiri terhuyung-huyung lalu berpelukan-berangkulan menghindari jatuh juga sebagai tanda solidnya mereka.
“Siape elu Bang?”
“Gue Japra, mandor pasar. Elu boleh panggil gue kalo dipalakin preman pasar. Okeh?”
“makasih Bang!”
“ini siape, injek sendal jepit gue?” tanya pemabuk yang lain.
“Aye Bang, Sapei. Anak SMK yang kemarin tolong abang waktu nyungsep di got”
“Lu belajar nyang rajin, jangan suka bolos sekolahnye ye?”
Biarpun mereka mabuk, tapi keakraban tetap terjaga dengan saling menolong dan menasihati.
Dalam suatu kesempatan, pemilik warung doyong berencana mengadakan turnamen miras oplosan dengan hadiah utama sepeda motor.
Peraturannya adalah peminum miras yang berhasil jalan pulang tidak nyungsep, dialah pemenangnya.
Peserta lomba minum miras siapa saja tanpa batasan usia. Peserta tidak perlu bayar uang pendaftaran cuma membayar gelas racikan yang berani diminum.
Tanpa promo iklan, spanduk, dan brosur peminat lomba minum miras oplosan sudah banyak yang mendaftar sejak dua hari menjelang lomba. Banyak peserta lomba dan banyak juga yang bertaruh menjagokan seseorang.
“Pilih nyang kerempeng aje! Pasti lebih jago daripada yang gendut!”
“Gimane yang kerempeng bisa menang? Teler sedikit aje kagak kuat bangun.”
Ada juga yang mengusahakan trik agar tidak mudah teler dan ambruk.
“Minumnya sedikit-sedikit aje sambil ngemil jengkol muda. Pasti menang!”
“Coba aje minum segelas sekaligus, terus makan tai kambing. Pastinya reaksi teler berkurang”
Waktu lomba yang ditentukan tiba yaitu pukul 22.00 wib. Peraturan lomba dibacakan bahwa peserta lomba harus menyiapkan uangnya sendiri. Satu gelas miras oplosan harus habis diminum dalam waktu tidak lebih dari lima menit. Peserta tidak boleh memesan racikan. Peserta yang teler dan tersungkur dinayatakan kalah. Peserta peminum yang terakhir dialah pemenangnya.
Peraturan lomba dimufakati oleh semua tanpa ada satu pun yang protes, interupsi, voting atau walkout seperti sidang anggota dewan.
Dua buah meja dijajarkan dengan bangku panjang dipasang berhadapan. Dipanggilnya empat puluh peserta turnamen miras oplosan diiringi tepuk tangan dan sorak sorai dari pengunjung yang lain. Mereka duduk berhimpitan dan berhadapan.
Miras racikan level 1 yang berisikan cairan methanol, etanol dan cairan bersoda siap dihidangkan oleh para perempuan berpakaian sexy ke dalam gelas-gelas ukuran sedang. Para perempuan peracik miras oplosan itu berlagak layaknya barista profesional. Menakar ini dan itu. Diputar-putar dan dikocok-kocok.
“Bersiap… 1..2..3…mulai!”
Dalam hitungan ketiga itu mereka mulai menenggak dan menikmati dengan gayanya masing-masing. Belum lima menit usai miras berukuran gelas sedang itu habis ditenggak. Sontak penonton bertepuk-tangan, bersorak-sorai, bersiulan dan sebagainya. Semua peserta turnamen dinyatakan berhasil tidak ada yang teler tersungkur.
Maka selanjutnya panitia menyiapkan racikan miras level 2 yang kandungan intinya ditambahkan salep dan obat tetes mata. Para perempuan sexy bergaya layaknya barista itu kembali disibukkan meracik miras oplosan yang komposisinya setingkat lebih mendekati kesekaratan. Peserta dan penonton sudah gusar tak sabar meminta segera dimulai.
Penonton berjingkrak-jingkrak, bersorak-sorai riuh rendah. Sungguh ini sebuah pertunjukkan yang langka bagi penggila miras oplosan.
Aba-aba pun kembali diteriakkan. Untuk racikan yang ini peminum sudah mulai ada yang merasakan kejanggalan mulai dari tenggorokannya terasa terbakar, pandangan mata berkunang-kunang, hingga perut serasa dicabik-cabik. Semua memaksakan minum habis sebelum menit kelima.
Kali ini sepuluh orang sudah yang teler dan nyungsep satu persatu, lalu digotong dengan pertolongan seadanya. Berbusa, muntah lalu pingsan dan sebentar siuman sudah menjadi pecundang. Malu, ditertawakan dan menjadi terhina.
Semakin malam penonton yang bertaruh semakin antusias. Level demi level racikan miras oplosan yang mengundang ke neraka itu terus diikuti oleh para peserta yang masih menunggu jadwal ajalnya. Malaikat-malaikat pencabut nyawa sibuk berseliweran dengan geramnya.
Perempuan sexy peracik miras oplosan mulai kerepotan. Mucikari yang sekaligus juga pemodal usaha tampak bergairah dengan uang berlimpah.
Sampailah di level terakhir yang hanya diikuti tiga orang kontestan membuat kehebohan para petaruh menjagokan pilihannya. Perempuan sexy sang peracik mulai kehabisan bahan. Racun apalagi yang harus dia oplos ke dalam miras itu. Ide gilanya muncul. Akhirnya tiga gelas pun terhidang.
Sesi final di level terakhir pun dimulai. Baru saja setegukan, ketiganya roboh tertelungkup. Sekarat. Suasana hening membeku. Mata para petaruh mengamati kemungkinan ada gerakan. Sesaat diperiksa oleh juri dan ternyata ada seorang yang bergerak dan berusaha membalikkan badan. Mulut berbusa, matanya merah melotot ke langit. Iblis kegirangan mengelu-elukan sang jawara. Dia mencoba bangkit ke arah meja dan berjuang menghabiskan miras oplosan yang masih tersisa. Sontak membahana teriak riuh rendah tak henti-henti dari para penonton dan petaruh yang menang.
Sementara perempuan sexy peracik miras oplosan itu kelelahan dan bergumam, ”Dasar edan! Air buangan cebok busuk begitu ditenggak juga!”
Azan subuh, murka berkumandang, terdengar dari pengeras-suara musala rombeng membubarkan pesta pora kezaliman.***
Ali Hambali, alumni Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Bandung (UPI). Saat ini bertugas sebagai ASN pengajar di SMKN 6 Kabupaten Tangerang.