Peta Jalan Pendidikan Nasional Kemendikbud Dikritik Keras Muhammadiyah, NU, dan MUI

98276386 3111061142286834 4575416698944880640 o
(Foto: Istimewa)

ZONALITERASI.ID – PP Muhammadiyah, LP Maarif Nahdlatul Ulama (NU), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkritik keras tidak masuknya frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035 yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Draf terbaru menggantikan frasa agama menjadi kata akhlak dan budaya.

Dalam drafnya, Visi Pendidikan Indonesia 2035 tertulis, “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, serta beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, budaya Indonesia, dan Pancasila.”

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan, hilangnya frasa agama merupakan bentuk melawan konstitusi (inkonstitusional). Sebab merunut pada hierarki hukum, produk turunan kebijakan seperti peta jalan tidak boleh menyelisihi peraturan di atasnya yaitu, Peraturan Pemerintah, UU Sisdiknas, UUD 1945 dan puncaknya adalah Pancasila.

“Visi Pendidikan Indonesia 2035 semestinya berbunyi sebagai berikut, ‘Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, unggul, terus berkembang, dan sejahtera, dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, Pancasila, dan budaya Indonesia’,” kata Haedar, dikutip Media Indonesia, Minggu (7/3/2021).

Pernyataan sama disampaikan Kepala LP Maarif NU, KH Arifin Junaidi. Ia menyayangkan Kemendikbud yang mengabaikan pola pikir dimensi religius dan dimensi historis bangsa Indonesia yang menjadi titik awal refleksi, evaluasi, dan antisipasi bagi kebijakan pendidikan di masa depan.

“Visi pendidikan di masa depan seharusnya mendasarkan diri pada dimensi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Cita-cita besar para pendiri bangsa tetap harus menjadi orientasi kebangsaan dalam mendesain kebijakan pendidikan di masa depan,” ujar Arifin.

Arifin menuturkan, LP Maarif dan PBNU bersama Ketua Umum KH Said Aqil Siraj pada 25 Januari 2021 telah menyampaikan langsung sejumlah masukan PJPN ini kepada Mendikbud Nadiem Anwar Makarim.

“Kami memberi masukan agar perlunya penanaman ajaran dan nilai-nilai agama sesuai yang dipeluk peserta didik. Kami juga mengusulkan penggunaan frasa merdeka belajar dikembalikan ke frasa yang diintrodusir Ki Hajar Dewantara, yakni menekankan pada pengembangan karakter bukan penekanan pada literasi numerasi,” kata Arifin.

Ia memaparkan, aspek pengembangan peserta didik tidak hanya aspek konowledge, skill, dan attitude, tapi ditambah dengan aspek pengembangan sosial.

“Pusat pendidikan yang selama ini disebut tri pusat pendidikan, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat, perlu ditambah satu lagi yakni, tempat ibadah, sehingga menjadi catur pusat pendidikan,” cetusnya.

Lanjut Arifin, dalam sistem pendidikan seharusnya terdapat dimensi antropologi manusia Indonesia, yaitu bagaimana kita memandang manusia Indonesia yang memiliki akar budaya bangsa, tradisi spiritual-religius, dan sebagai makhluk ciptaan-Nya memiliki tugas dan panggilan yang unik sebagai individu dan warga negara.

“Isi fundamental sebuah sistem pendidikan adalah visi besar pendidikan masa depan, yaitu sistem pendidikan Indonesia masa depan akan membentuk dan mempersiapkan warga negara dengan kompetensi dan karakter yang sesuai dan andal,” terangnya.

Ditambahkannya, dalam konsep Kemendikbud, profil pelajar Pancasila lebih banyak berbicara pada tataran individual, sementara pada dimensi sosial hanya dikaitkan dengan kemampuan berkolaborasi yang sejak dulu menjadi ciri bangsa Indonesia. (haf)***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *