PJJ Hampir Dua Tahun Bikin Anak-anak Alami Krisis Kesehatan Mental

PJJ 1 980x400 1
Ilustrasi, (Foto: Jawapos.com).

ZONALITERASI.ID – Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang telah berlangsung hampir dua tahun ini telah meninggalkan dampak krisis kesehatan mental yang cukup berat dirasakan oleh anak-anak. Dampak ini akibat dari banyaknya tugas yang harus dipenuhi oleh siswa selama PJJ dengan risiko terisolasi dari teman-teman sebayanya.

Pengamat dan praktisi pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Nur Rizal, menyebutkan, mengutip data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebanyak 79,9% proses pembelajaran PJJ dilakukan tanpa interaksi sehingga mengakibatkan anak stres dan lelah.

Lalu, terdapat 37,1% anak mengaku waktu pengerjaan tugas sempit sehingga kurang istirahat. Hal ini mengakibatkan 76,7% anak menyatakan tidak senang dengan PJJ.

“Guru hanya memberikan dan menagih tugas tanpa ada interaksi belajar bahkan tidak ada penjelasan materi. Alpa interaksi ini menyebabkan anak kebingungan dalam mengerjakan tugas,” kata Nur Rizal, dalam diskusi pendidikan daring, dikutip jpnn.com, Jumat (2/1/2021).

Lanjut Rizal, survei yang dilakukan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) terhadap 1600 siswa menyebutkan sebanyak 19,06% – 26,3% anak merasa bosan dan 36% – 43% anak merasa ingin berinteraksi teman sebayanya selama proses pembelajaran PJJ.

Selama PJJ ini, kata Rizal, PJJ masih berorientasi pada akademik dan tugas. Itu mengakibatkan kebutuhan koneksi internet dan infrastruktur gawai sangat tinggi. Padahal anak miskin atau di desa memiliki permasalahan dengan hal tersebut. Akibatnya, terjadi jurang kesenjangan yang sangat tinggi antara anak-anak di kota dan desa. Kesenjangan ini mengakibatkan learning poverty yang lebih riskan dialami masyarakat miskin maupun yang tinggal di pulau terluar.

“Learning poverty ini krusial untuk segera ditangani karena akan berdampak pada kemampuan dasar pembelajaran selanjutnya yang lama kelamaan akan mengakibatkan defisit SDM di Indonesia,” ujarnya.

Tutur Rizal, GSM menyarankan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengubah paradigma pendidikan dari penyeragaman dan kepatuhan pada konten akademik ke pendidikan yang lebih mengembangkan penalaran kritis dan empati sosial. Perubahan paradigma ini harus dilakukan secara holistik dengan mengubah berbagai macam regulasi dengan model evaluasi yang berbasis umpan balik terkait proses belajar siswa.

“Agar kebijakan ini sejalan maka perlu koordinasi yang intensif antara pemerintah pusat dengan daerah agar kebijakan bisa dijalankan dengan benar dan baik,” terangnya.

Dikatakannya, salah satu upaya yang dilakukan oleh GSM untuk mengatasi permasalahan PJJ adalah membuat kurikulum berbasis rumah dan komunitas yang disebut home based learning (HBL). Dengan kurikulum ini, guru didorong memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk membuat kurikulum sekolah sendiri yang kontekstual dengan latarbelakang ekonomi keluarga siswa dan geografi sekolah.

Selain itu murid dan guru menjadi tidak bergantung pada fasilitas koneksi internet maupun gawai yang dipakai. Untuk memberikan feedback terhadap proses belajar siswa, guru bisa melakukan kunjungan ke rumah siswa atau mengadakan pertemuan seminggu sekali dengan jumlah siswa terbatas untuk mendiskusikan proses belajar yang baru tersebut.

“Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada koneksi internet dan gawai dalam menyelenggarakan pembelajaran selama pandemi,” pungkasnya. (haf)***

Respon (170)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *