KUMINTA HUJAN
Kuminta hujan datang seadanya
Saat mendung, angin, dan awan menghitam
Tapi kau bilang, “Entar.”
Kuminta hujan menjauh
Saat pesta bumi dan huru-hara
Tapi kau bilang, “Masih.”
Maka deras menyertai hujan
Lalu kuminta gerimis
Saat cinta membutuhkan pelabuhan
Lalu kau hadir bersama sedikit angin
Berbalut senja
Dan bau tanah basah aroma kasturi
Lalu hujan bilang
“Demi cinta, apapun bisa.”
HUJAN MENGANTARKU PULANG?
Aku diam-diam sedikit mengendap-endap
Menuruni tangga hidup yang penuh bunga dan mawar
Kutanggalkan semua perhiasan dan aksesoris
Kulucuti baju dan semua lambang identitas diri
Sim salabim
Aku menjadi siluman duka
Kususuri jalan berkelok dan becek
Lalu kutemukan alur ini
Aku ngebut di jalan lurus
Tanpa kompas dan rambu-rambu
Aku berencana menuju ke taman-Mu
Yang penuh dengan air, tanah, batu, dan gunung-gunung
Aku mencari diriku sendiri
Tetapi,
semakin kumencari sepi, kudapati Kau
kumencari sempit, kudapati Kau
kumencari lapang, kudapati Kau
kumencari mana, kudapati Kau
Karena kau
telah menyertaiku sejak subuh
bahkan Kau sudah masuk di dalam perjalananku
Bahkan di dalam tubuhku
TANGISAN HUJAN
Ratusan purnama melenggang begitu saja
Melewati gunung, lembah, hutan, dan lautan luas
Sementara pasar dan kota-kota
Menangis kesepian tanpa kata-kata
Bau tanah basah dan katak yang bernyanyi riang
Menghiasi senja itu
Yang sebentar lagi pupus
dilahap malam yang semakin rakus melumat apapun dalam gelap
Burung-burung sudah tak terdengar lagi
Mereka digiring hujan senja ini
berlari terbirit-birit mereka
menuju sarang, rumah, hotel, istana, bahkan surga
Sementara hujan kali ini
masih di sini
menangis pilu
menunggu senja berlalu
HUJAN DATANG TERLAMBAT
Disampaikannya kabar lewat angin spoy
Lalu terbawa bersama daun kering
Yang luruh
Hilang
Dikirimkannya isyarat
Lewat cahaya tajam menyambar pelan
Yang pudar bersama malam
Sunyi
Ditampilkannya bayangan tanda
Lewat awan hitam memucat
Yang terbirit ketakutan tertiup angin
Lengang
Sementara
Kau datang
Mengendap-endap
Di bawah bayangan lampu temaram
Basah
SAAT TURUN HUJAN PADA SENJA HARI
Di sini gemercik air besahutan dengan kidung cinta
Sementara segelas kopi hitam baru saja terhidang
Asapnya masih mengepul menyebarkan aroma
Di sini
Ada ruang hampa
Tempat bertanya kepada Sang Kuasa
Ada apa dengan gubuk tua di ujung jalan
Yang terdiam dalam segala rahasia
Di sini
Ada bising dari pelantang suara masjid
Tapi bukan adzan atau lantunan ayat-ayat-Nya
Mereka berdebat dengan teori sekadar cara menyeduh kopi
Di sana
Ada juga sandiwara
Yang mengisahkan tentang lalu, kini, dan esok
Bak Irama yang matang penuh makna
Sementara kita
Tersesat pada senja ini
bersama hujan yang semakin mengabut
Mencari makna
Rudianto adalah Pengawas SMP di Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon dan pernah menjadi Guru Berprestasi Nasional tahun 2003.