PADA suatu waktu berkesempatan ngobrol santai dengan Ketua TP-PKK Desa Ciptagumati. Obrolan mengarah pada pengelolaan PKBM yang dijalaninya selama beberapa tahun ke belakang. Sebagai alumni Prodi Pendidikan Masyarakat, Ketua TP-PKK yang juga istri Kepala Desa Ciptagumati memiliki perhatian lebih tentang perkembangan pendidikan di wilayahnya, termasuk di Cikalongwetan. Salah satu upaya yang dilakukannya adalah menyelenggarakan PKBM yang ditopang oleh kebijakan Kepala Desa Ciptagumati. Perkembangan PKBM yang dikelolanya cukup menjanjikan karena begitu banyak warga yang putus atau tidak melanjutkan sekolah di daerahnya. Sekalipun demikian, berbagai tantangan harus dihadapi dan disikapi dengan bijak. Tantangan yang paling krusial adalah minimnya semangat beberapa peserta didik mengikuti alur pembelajaran yang dilaksanakan.
Berdasarkan data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Kabupaten Bandung Barat ditemukan fakta bahwa Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Kabupaten Bandung Barat masih berada pada angka 8,21. Capaian angka tersebut tidak jauh berbeda dengan kabupaten lainnya di Jawa Barat. RLS pada angka 8,21 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat bila dirata-ratakan masih berada pada level kelas 8. Artinya, rata-rata pendidikan masyarakat masih pada jenjang SMP.
Fakta demikian menjadi tantangan tersendiri bagi para pemangku kebijakan di Kabupaten Bandung Barat. Dengan capaian RLS yang masih berada pada angka 8,21, beban yang dihadapi sangatlah berat untuk mendongkraknya. Upaya menaikkan angka menjadi lebih tinggi harus menjadi pemikiran berbagai pihak, terutama para pemangku kebijakan.
Bila merujuk kembali pada penerapan kebijakan masa lalu yang saat ini sudah tidak populer, ditemukan kebijakan terkait pemberlakukan SMP terbuka. Implementasi program ini sejalan dengan penerapan program Wajib Belajar 9 Tahun. Keberadaan SMP terbuka yang sempat menjadi trend kebijakan pendidikan, merupakan langkah antisipasi untuk menopang keberlangsungan Wajib Belajar 9 Tahun.
Seiring dengan menurunnya popularitas program Wajib Belajar 9 Tahun, surut pula keberadaan SMP terbuka yang sempat menjamur pada masanya. Pada level kabupaten/kota saja, saat ini keberadaan SMP terbuka sudah bisa dihitung dengan jari. Berbagai Tempat Kegiatan Belajar (TKB) yang pernah menjadi sentra pembelajaran para siswa SMP terbuka bertransformasi menjadi Unit Sekolah Baru (USB) bahkan ada pula yang menghilang begitu saja.
Saat itu, pemberlakuan SMP terbuka menjadi langkah strategis pemerintah dalam upaya menampung lulusan SD/sederajat yang terkendala dengan geografis dan sosial ekonomi untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Melalui keberadaan SMP terbuka ini warga usia sekolah dapat mengenyam pendidikan formal dengan pola pembelajaran yang fleksibel. Sekalipun siswa belajar pada sekolah demikian, ijazah yang diperoleh merupakan ijazah satuan pendidikan formal yang menjadi induk dari SMP terbuka dimaksud.
Di sisi lain, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menjadi alternatif pilihan yang bergerak pada jalur nonformal. PKBM merupakan lembaga pendidikan nonformal yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat. Lembaga ini berorientasi pada pemberdayaan potensi setempat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Keberadaan PKBM bisa memfasilitasi warga yang selama ini belum sempat menuntaskan pendidikan pada jenjang SD (Paket A), jenjang SMP (Paket B), serta jenjang SMA (Paket C).
Fleksibilitas pola pembelajaran pada SMP terbuka dan PKBM dimungkinkan diberlakukan karena kondisi peserta didik pada kedua jalur pendidikan ini berbeda sekali dengan jalur pendidikan formal, seperti SMP dan MTs. Fleksibilitas penerapan pola pembelajaran menjadi refleksi keberpihakan (afirmasi) pemangku kebijakan terhadap peserta didik dengan kondisi demikian. Selain pertemuan tatap muka langsung dengan para guru, pemanfaatan modul belajar dan perangkat digital dimungkinkan untuk diimplementasikan dalam pelaksanaan pembelajarannya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada beberapa daerah masih ditemukan warga yang tidak sempat menuntaskan pendidikan karena berbagai alasan tertentu, baik geografis maupun sosial ekonomi. Warga demikianlah yang harus disisir oleh para pemangku kebijakan untuk difasilitasi sehingga mereka dapat belajar dan menuntaskan pendidikannya. Penyisiran dilakukan guna mengajak mereka agar mau kembali mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Dengan penambahan warga yang menuntaskan pendidikan lebih tinggi, dimungkinkan akan terjadi kenaikan capaian RLS.
Langkah untuk memfasilitasi warga demikian tidak hanya dapat dilakukan oleh satu atau dua pemangku kebijakan, tetapi harus dibangun kolaborasi dari berbagai pemangku kebijakan sehingga di antara mereka bisa saling mendukung, sesuai dengan kepemilikan potensi masing-masing. Bukan tidak mungkin pemerintah kabupaten/kota menggelontorkan anggarannya untuk memfasilitasi siswa di SMP Terbuka serta warga belajar di PKBM. Bahkan tidak menutup kemungkinan, pemerintah desa pun turun tangan dalam mengalokasikan anggaran yang dimilikinya serta memanfaatkan fasilitas aula desa yang dimilikinya untuk menjadi tempat belajar setiap warga belajar.
Berbagai langkah strategis harus terus dilakukan oleh para pemangku kebijakan untuk mendongkrak angka RLS. Langkah itu harus mendapat perhatian ekstra karena capaian RLS berbanding lurus dengan capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). ***
Dadang A. Sapardan, Camat Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat