Refleksi Pajak dan Keadilan di Indonesia: Belajar dari Masa Kolonial

Oleh Rohidin, S.H., M.H., M.Si.

WhatsApp Image 2024 12 19 at 20.28.59
Rohidin, S.H., M.H., M.Si. (Foto: Dok. Pribadi)

BERBICARA tentang masa kolonial Belanda, benak kita senantiasa diingatkan kembali pada kebengisan Belanda membebani rakyat Indonesia dalam bentuk perpajakan. Rumah, usaha, sewa tanah, pedagang, dan konsumsi opium, semuanya dikenakan pajak. Rakyat Indonensia pasrah, dan tidak berani memberontak sekalipun kolonial Belanda melakukan pemerasan melalui perpajakan secara sadis. Karenanya, sangat tidak berlebihan jika manusia pada masa itu merepresentasikan pajak sebagai alat penindasan ekonomi. Lantas muncul pertanyaan, apakah kebijakan pajak di Indonesia saat ini lebih adil dibandingkan masa penjajahan?

Pertanyaan tersebut sangatlah sederhana namun membutuhkan sebuah jawaban berupa hasil analisis yang tajam dan komprehensif. Sekalipun demikian, penulis melalui opini ini memaparkan sebuah kajian analisis komparatif mengenai sistem pajak masa kolonial dan modern konteks ke-Indonesiaan. Kajian komparatif ini setidaknya akan memberikan sebuah pemahaman tentang refresentasi pajak pada diri manusia masa kolonial dan masa modern.

Sistem Pajak di Masa Kolonial: Kekejaman yang Terstruktur

Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia dikenakan berbagai jenis pajak. Salah satu yang paling memberatkan adalah pajak penghasilan yang diterapkan melalui Ordonantie op de Inkomstenbelasting pada tahun 1908. Pajak ini memberlakukan tarif sebesar 2% dari pendapatan. Pajak penghasilan tersebut dikenakan kepada semua orang di Hindia Belanda, baik pribumi maupun non-pribumi. Perbedaannya terletak pada jenis usaha yang dikenai pajak:

1. Untuk pribumi, pajak dikenakan atas kegiatan perdagangan atau usaha kecil, yang dikenal sebagai business tax,

2. Untuk non-pribumi, pajak dikenakan atas usaha di bidang industri, pertanian, kerajinan
tangan, dan manufaktur, yang disebut tax patent duty.

Tidak sebatas itu, pajak-pajak pun diberlakukan pada sektor lain seperti; pajak tembakau, pajak penyembelihan hewan, hingga pajak konsumsi opium. Dengan adanya pemberlakuan pajak yang begitu agresif tentu saja kita bisa membayangkan betapa kerasnya beban yang ditanggung rakyat saat itu. Bahkan, keagresifan kolonial Belanda dalam menarik pajak rakyat Indonesia pada masa itu memandang bahwa pajak sebagai bentuk eksploitasi sistematis terhadap sumber daya dan tenaga kerja pribumi.

Membandingkan dengan Pajak di Era Modern

Dalam konteks Indonesia modern, pajak pertambahan nilai (PPN) saat ini berada pada tarif sebesar 12% untuk kategori barang mewah dan 11% untuk kategori umum. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan tarif pajak penghasilan di masa kolonial yang hanya 2%. Sebagai tambahan, pada 1 Januari 2025, harga bahan bakar minyak mengalami kenaikan sebesar Rp. 400 per liter, menunjukkan bagaimana kebijakan pajak dan harga memiliki dampak langsung terhadap rakyat. Pertanyaannya, apakah ini mencerminkan kekejaman yang lebih besar dibandingkan era penjajahan?

Secara logis, ada perbedaan mendasar dalam tujuan dan penggunaan pajak antara masa kolonial dan masa kini. Pada masa penjajahan, pajak sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah kolonial, tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, dalam era kemerdekaan, pajak seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, dan peningkatan kualitas hidup rakyat. Namun, apakah kenyataannya selalu demikian?

Merdeka atau Tidak: Refleksi Keadilan Pajak

Bung Karno pernah berkata bahwa melawan penjajah asing lebih mudah daripada melawan “penjajah” dari bangsa sendiri. Hal ini tampaknya relevan dalam membahas kebijakan pajak di Indonesia. Meski kita hidup di era yang disebut merdeka, kebijakan pajak sering kali dianggap membebani rakyat kecil. Contohnya adalah bagaimana aturan pajak kadang-kadang digunakan untuk mengambil hak-hak masyarakat adat atas tanah yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Pasal 18B UUD 1945 sebenarnya memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat. Namun, implementasinya sering kali nihil. Banyak kebijakan yang malah merampas hak-hak ini dengan alasan formalitas undang-undang. Apakah ini adil? Apakah ini pantas disebut merdeka? Monggo dipertimbangkan bicara penindasan terhadap rakyat: siapa yang lebih kejam, musuh di ujung barat atau tumor di kepala?

Pentingnya Kebijakan Pajak yang Berkeadilan

Pajak merupakan tulang punggung pembangunan negara. Namun, agar pajak benar-benar menjadi instrumen yang adil, ada beberapa prinsip yang harus diterapkan:

1. Proporsionalitas

Pajak harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi wajib pajak. Jangan sampai rakyat kecil menanggung beban yang sama dengan perusahaan besar.

2. Transparansi

Pemerintah harus menjelaskan secara rinci penggunaan dana pajak. Hal ini
penting untuk memastikan bahwa pajak benar-benar digunakan untuk kepentingan publik.

3. Penghormatan terhadap hak masyarakat adat

Kebijakan pajak tidak boleh mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang diakui oleh konstitusi.

Refleksi untuk Masa Depan

Sebagai bangsa yang merdeka, kita memiliki tanggung jawab untuk menciptakan sistem pajak yang tidak hanya efektif, tetapi juga adil. Hal ini membutuhkan reformasi kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, sekaligus pengawasan ketat terhadap penggunaannya. Kita perlu belajar dari masa lalu, di mana pajak menjadi alat penindasan, dan memastikan bahwa hal serupa tidak terjadi lagi. Merdeka bukan hanya soal bebas dari penjajahan asing, tetapi juga bebas dari kebijakan yang menindas rakyat sendiri.

Dengan demikian, mari kita renungkan bersama: apakah sistem pajak saat ini sudah mencerminkan keadilan yang diidamkan para pendiri bangsa? Jika belum, saatnya kita bergerak untuk memperbaikinya. Sebab, sejatinya keadilan adalah hak setiap warga negara, bukan sekadar retorika belaka. ***

Rohidin, S.H., M.H., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII Trust of Guarantee Phoenix Ina 18, pengamat kebijakan publik