Refleksi Pajak dan Keadilan Perspektif UU Pertanahan 1960

Oleh Rohidin, S.H., M.H., M.Si.

https inr production content bucket.s3.ap southeast 1.amazonaws.com INR PRODUCTION photo pre 2022 10 17 34bb0f8c 1205 422a 8f33 309ef49d164c jpg
Ilustrasi hak ulayat. (Foto: Kompas.id)

SECARA konseptual sistem adalah suatu kekuatan yang harus dimutakhirkan, karena sistem akan terus mengalami kemajuan grading atau pengaturan baik secara otomatis berdasarkan satelit maupun secara manual. Dalam upaya memengaruhi sistem dan konsep tersebut diciptakanlah teknologi. Dengan kekuatan software dan hardware teknologi manusia mulai membuat berbagai masalah di dunia ini.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada hakikatnya merupakan pedoman yang mengatur tentang tanah adat. Pada prinsipnya UUPA mengakui bahwa tanah adat adalah milik masyarakat adat dan mengatur hak-hak adat. Hak ulayat sebagaimana diatur dalam undang-undang tidak lain adalah hak perkumpulan masyarakat adat atas suatu wilayah.

Hak adat meliputi hak memanfaatkan tanah, hutan, air, dan isinya. Padahal, UUPA menghilangkan perbedaan antara hukum adat dan hukum perdata Belanda mengenai pertanahan. Dan UUPA hadir pada prinsipnya untuk mengatur pendaftaran tanah dan menjamin kepastian hukum. Karenanya, UUPA dengan tegas mengatur bahwa hak milik atas tanah merupakan hak waris yang terkuat dan terlengkap.

Terdapat beberapa ketentuan terkait hak ulayat, di antaranya: Hak ulayat tidak lain merupakan hak masyarakat hukum adat atas wilayah tanahnya. Hak ini mencakup hak untuk membuka lahan, hutan, dan memungut hasil hutan.

Kemudian, hak milik adat merupakan hak perseorangan dan hak komunal.

Pada prinsipnya, baik perseorangan maupun komunal bisa mendapatkan hak milik lahan adat, terpenting lahan atau tanah itu terlebih dulu harus didaftarkan ke kantor pemerintahan.

Pendaftaran tanah merupakan sarana yang kuat untuk membuktikan keabsahan peralihan dan pembebanan hak atas tanah. Status tanah adat dapat berubah menjadi hak milik perseorangan apabila tanah tersebut telah menjadi tanah negara.

Untuk mengakui tanah adat dilakukan identifikasi, verifikasi, dan validasi. Identifikasi dilakukan oleh bupati atau walikota melalui camat dengan melibatkan masyarakat hukum adat. Hasil identifikasi kemudian diverifikasi dan disahkan oleh Pengurus Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota.

Penulis dalam ruang opini ini memberikan contoh hak ulayat di wilayah Kesultanan Selacau, di Parungponteng, Kabupaten Tasikmalaya. Merujuk pada fakta sejarah, tanah Selacau (Selatjaue) merupakan tanah adat yang tidak perlu lagi disahkan karena Selacau sudah mempunyai peta egendom yang sangat jelas. Artinya hak ulayat Selacau mengacu pada UUPA sebagai hak masyarakat hukum adat atas wilayah tanahnya. Oleh karena itu, Wilayah Kesultanan Selacau merupakan hak perseorangan dan hak komunal.

Berdasarkan UUPA, penulis berpandangan bahwa pemilik hak waris keturunan Kesultanan Selacau mempunyai hak untuk mengambil kepemilikan atas tanahnya, hutan yang telah diklaim pemerintah sebagai tanah kehutanan. Penulis berkeyakinan bahwa hak waris keturunannya yang berupa tanah tidak boleh dikuasai secara pribadi melainkan tanah tersebut akan dibangun menjadi destinasi wisata cagar budaya misalnya, agar asas manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat. dan pemerintah setempat.

Meski begitu, pemegang hak waris Kesultanan Selacau sebagaimana diatur dalam UUPA harus tetap memberikan kebebasan kepada masyarakat yang memanfaatkan tanah tersebut. Namun di sisi lain, hak waris keturunan Selacau setidaknya dapat memanfaatkan Royalti dari pembagian pajak. Tanah yang kosong dari penguasaan rakyat harus dikembalikan kepada ahli warisnya.

Dengan cara ini tentunya akan terjalin kemitraan yang kokoh antara ahli waris, pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan tanah adat menjadi kawasan wisata cagar budaya dan wisata masyarakat. Pemerintah hendaknya mendukung pemegang hak ulayat (Selacau) untuk mengembangkan wilayahnya menjadi kawasan wisata Gurilap (gunung, hutan, laut, dan pantai) yang profesional.

Kehadiran destinasi wisata Gurilap yang berkekuatan sumber daya manusia setempat, tentu saja ke depan akan menjadi penopang kekuatan ekonomi mandiri Indonesia mulai dari hulu sampai ke hilir. Kekuatan model ekonomi seperti inilah dalam pandangan penulis yang mampu menangkis gelombang krisis keuangan global yang bisa mengacak-acak perekonomian di Indonesia. Karenanya, kasus Astra Agro Lestari Tbk yang disebut-sebut mengalami krisis dana global harus menjadi contoh kepahitan di negeri ini. Waalohu’alam bisowaf. ***

Rohidin, S.H., M.H., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII, Amanah Penjaminan Phoenix INA 18).