BUDAYA  

Rempug Jukung Nyinglar Sasalad

t 5e6b88d54115a
(Ilustrasi: Unas.ac.id)

Ditulis oleh Mang Andi Espe

“LAGI apa, Bah?”

“Lagi panineungan ke zaman perang kemerdekaan, Jang.”

Aéh … iya, ya. Pan Abah mah ngalamin ikut perang ya?”

“Iya, waktu itu Abah masih remaja. Hanya sebentar ikut berperang, tapi tahu susahnya hidup di zaman perang.”

“Terus sekarang ngapain, Abah malah sibuk noélan hape?”

“Ini ada tulisan. Menurut  laporan peneliti militer Belanda, katanya jumlah korban dari pihak Indonesia selama 5 tahun perang kemerdekaan, kira-kira antara 97 ribu sampai 100 ribu jiwa, tentara dan laskar.”

Haar ari si Abah …! Orang mah ramé ngomongin Covid, ini malah membahas zaman perang. Nggak musim, Bah. Suka teu ararumum Abah mah.”

“Justru itu yang ingin Abah sampaikan. Coba lihat ini. Angka kematian akibat Covid di Indonesia sekarang hampir 70 ribu jiwa. Belum genap dua tahun itu téh, Jang! Zaman perang kemerdekaan yang mati seratus ribu, itu téh dalam waktu lima tahun. Berarti menurut Abah mah, sekarang ini téh sudah seperti perang besar, Jang. Malah di Amerika mah, katanya, jumlah kematian karena Covid hingga akhir tahun kemarin sudah melebihi jumlah orang Amerika yang mati saat perang dunia 2, sudah lebih dari 400 ribu jiwa. Nah lho, itu kan bukan angka yang main-main.”

 “Ih Abah mah malah nakut-nakutin …”

“Bukan nakut-nakutin, Jang. Abah mah hanya waspada, hanya berjaga-jaga. Kalau sudah seperti perang, korban berjatuhan di mana-mana, kita semua harus turun tangan. Harus rempug-jukung bersama-sama menghadapi serangan musuh.”

“Sekarang kan bukan zaman perang, Bah. Musuhnya yang mana, Kita nggak tahu”

Ari si Ujang. Ya itu musuhnya, si Covid téa, si virus Corona. Memang susah, Jang. Dulu mah tangkurak si musuh téh terlihat. Kan yang sekarang mah tidak terlihat, seperti hantu yang nyiliwuri. Tahu-tahu, kek wéh mencekik kita.”

“Sebentar Bah … Jadi kita téh harus turun tangan bagaimana?”

“Harus sauyunan, Jang. Harus seperti dulu di zaman perang. Ya pemeritah, ya rakyat, semua bahu-membahu saling bantu. Mau merdeka lepas dari cengkeraman penjajah itu susah. Segalanya harus dikorbankan. Apa Ujang kira rakyat yang hidup di zaman perang itu enak? Iiih … Takut, Jang. Di lembur sieun diduruk, ka sawah sieun katembak. Tapi kalau nggak ke sawah, nggak bekerja, ya nggak makan. Sekalinya dapat makanan, tidak dimakan sendiri. Tapi dibagi dua, disumbangkan pada tentara dan rakyat yang sedang ikut berperang, atau pada rakyat yang kelaparan terdampak perang. Jadi, yang berjuang itu bukan hanya tentara dan laskar, tapi seluruh rakyat. Kalau nggak begitu mah, nggak bakalan negeri ini merdeka, Jang.”

“Ah, itu mah dulu, Bah. Ketika zaman mengusir penjajah. Sekarang mah repot. Rakyat saja banyak yang tidak percaya, malah nyinyir pada pemerintah. Katanya, pemerintah zolim menyengsarakan rakyat. Pemerintah membunuh rakyatnya pelan-pelan …”

“Euh … Kalau yang seperti itu mah dari dulu juga banyak, Jang! Dulu juga banyak yang tidak percaya pada pemerintah republik, tidak percaya negeri ini bisa merdeka dan mandiri. Bukan hanya tidak percaya, tapi juga mengganggu. Memperkeruh suasana hingga merepotkan tentara dan rakyat yang sedang berjuang mengusir penjajah. Coba Ujang cari kisah-kisah seputar perang kemerdekaan. Banyak lho, pejuang kita yang justeru mati oleh bangsa kita sendiri. Oleh gerombolan yang sama-sama menenteng senjata. Mereka mengaku laskar pejuang, tapi tidak mau dikoordinir oleh tentara resmi.”

“Tentara resmi itu apa, Bah?”

“TKR maksudnya, tentara republik, suka disarebut tentara resmi. Kan ada TKR, ada laskar rakyat. Sebagian besar rakyat itu pro pemerintah. Sebagian lagi tidak suka sama pemerintah. Malah ada juga laskar yang justu pro tentara penjajah. Wah, kacau pokokna mah, kacau! Tapi setelah keadaan aman mah, semuanya juga turut menikmati damainya negeri ini.”

“Oooh, jadi begitu ya, Bah.”

“Iya Jang. Abah mah hanya melamun. Seandainya saja rakyat negeri ini sekarang téh seperti dulu ketika zaman perang kemerdekaan. Mau berkorban, mau saling bantu. Pasti sasalad yang sedang menghantui negeri ini, bahkan menghantam dunia, akan segera sirna. Sepertinya, Sang Pencipta sedang mengulang pelajaran sabar, sadar, dan saling membantu …. Tolong menolong, Jang. Saling membantu, rempug-jukung téa geuningan. Biarlah para petugas resmi yang berjuang di front. Jangan ganggu mereka. Mereka yang punya keahlian menghadapi si sasalad Covid ini. Mereka yang tahu strateginya, prak-prakkannya. Kita mah sebagai rakyat hanya bisa membangun laskar-laskar yang siap membantu mereka, siap dilatih dan dikoordinir oleh mereka. Kita harus siap dikirim ke front, atau berjaga di garis belakang melindungi sesama kita yang terdampak serangan si Covid. Jangan sampai korban jiwa bertambah, apalagi melebihi jumlah korban perang kemerdekaan. Walau harus menderita, harus berbagi dalam kekurangan, ini hanyalah sementara. Ini semua demi masa depan kita. Demi kehidupan yang lebih baik bagi anak cucu kita.”

“Yaaaah … Si Abah. Hatiku jadi nelangsa gini, Bah.”

“Namanya juga hidup bersama, Jang. Harus rempug-jukung … Eh, Kamu nggak ke kebon hari ini?”

“Nggak Bah … Kan pepekaem. Lokdon Bah, lokdon. Hehehe, Nggak boleh kerja”

 “His … Pembatasan, bukan pelarangan! Kalau kerja ke kebun mah boleh atuh. Da di kebun mah tidak akan bertemu kerumunan manusia. Paling juga kerumunan hileud.”

“Atuh nggak adil Bah. Orang lain nggak kerja, saya kerja.”

“Euh … bedul, Gawé siah! Engkémun hasil, tulungan nu teu bisa gawé!”***

Karawang, 16 Juli 2021

Respon (183)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *