Sampah dan Pikiran Merdeka

FOTO ARTIKEL 62
Salah satu titik di sudut Blok D Komplek Manglayang Regenci, Cileunyi, Kabupaten Bandung, yang sebelumnya dijadikan lokasi pembuangan sampah, (Foto: Dede Suherlan/Zonaliterasi.id).

Oleh Dede Suherlan

PERSOALAN sampah bukan persoalan sembarangan. Itu menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, tunggu saja, suatu hari nanti persoalan akan ‘meledak’ dan menjadi persoalan laten yang tak kunjung ada jalan keluar.

Ingat dengan tragedi longsornya TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005? Peristiwa yang terjadi tujuh belas tahun silam itu menjadi kisah memilukan. Gunungan sampah sepanjang 200 meter dengan tinggi 60 meter di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, menghantam permukiman akibat longsoran.

Akibatnya, 157 orang tewas dan dua permukiman, yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok, tertutup longsoran sampah. Longsoran ini akibat dari hujan deras yang mengguyur dan terpicu konsentrasi gas metan dari dalam tumpukan sampah.

Peristiwa tersebut ditetapkan sebagai bencana nasional oleh pemerintah dan mendasari peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Pemerintah juga menerbitkan UU No. 8/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP No. 18/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Persoalan longsornya TPA Leuwigajah berlarut-larut. Selepas tragedi itu, TPA itu pun ditutup. Itu berimbas kepada salah satu wilayah di kawasan Bandung Raya, yaitu Kota Bandung yang kelimpungan untuk menentukan tujuan akhir pembungan sampah.

Pada 7 Mei 2006 Detikcom memberitakan, sampah menumpuk di seantero sudut Kota Bandung. Sampah bahkan ada yang mencapai tinggi 3 meter. Hampir di semua pasar, sampah menumpuk tak terurus, seperti Pasar Cihaurgeulis, Pasar Cicadas, Pasar Ciroyom, dan Pasar Gede Bage.

Di jalanan, sampah pun menumpuk, seperti di kawasan Dago Atas, Jln. Taman Cibeunying, dan Kebun Binatang Bandung. Di kawasan Kebun Binatang Bandung, sampah menumpuk di Jln. Tamansari.

Sampah mulai menggunung sejak Maret 2006. Sejak ditutupnya TPA Leuwi Gajah, Pemkot Bandung membuang sampah ke TPA darurat di Cicabe, Kabupaten Bandung. Namun, kontrak dengan Pemkab Bandung sudah habis. Imbasnya, sampah pun tak pulang-pulang ke TPA dan lebih memilih menumpuk di pasar dan jalanan.

Nah, kondisi mumetnya mengelola sampah juga terjadi dalam lingkup yang lebih kecil. Saat Komplek Manglayang Regenci, Cileunyi, Kabupaten Bandung, mulai dihuni pada tahun 2001, pengembang tak menyediakan fasilitas lokasi pembuangan sampah.

Melihat kondisi itu, warga komplek itu, salah satunya yang tinggal di Blok D, berinisiatif mengelola sampah sendiri. Ada satu titik di pojok blok itu yang dijadikan untuk penampungan pembuangan sampah.

Sebelum sampah dikumpulkan di lokasi itu, ada petugas yang mengambil sampah ke rumah warga. Setelah terkumpul, sampah di lokasi penampungan kemudian dibakar.

Kondisi itu terjadi bertahun-tahun. Berbarengan dengan itu, persoalan muncul. Bau tak sedap dari tumpukan sampah kerap dikeluhkan warga. Belum lagi munculnya lalat, si binatang menjijikan itu. Selain itu, asap sampah saat dibakar yang menjadi biang polusi juga menjadi persoalan tersendiri.

Ya, inilah Indonesia. Dalam mengurus persoalan sampah pun, warga harus berinisiatif mencari solusi. Akhirnya, setelah melalui musyawarah dengan warga, pembuangan sampah di sudut blok itu distop pada Juli 2021. Pengurus lingkungan dan warga bersepakat memilih sampah akan diangkut dari rumah warga oleh truk Dinas Kebersihan Kabupaten Bandung, setiap dua pekan sekali.

Begitulah. Selepas kebijakan itu diambil, si sampah kembali memunculkan masalah. Tumpukan sampah yang disimpan di depan rumah warga dalam waktu dua pekan, menghadirkan bau tak sedap. Rumah beraroma bau TPA pun muncul. Lalat menjadi penghuni baru rumah. Padahal, saya yakin si lalat ini sebelumnya tidak lapor dulu ke RT dan RW.

Pertanyaannya kemudian, dalam kondisi begini, ke mana pemerintah? Kok warga dibiarkan memikirkan persoalan yang sebetulnya merupakan forsi yang harus dikerjakan pemerintah. Saat warga disulitkan dalam situasi tak nyaman, para ‘pejabat’ itu lebih asyik mengurus politik, mengurus kepentingan diri dan kelompoknya. Kalau begini terus, kapan pikiran kita akan merdeka?***

Penulis pemerhati lingkungan, tinggal di Cileunyi Kabupaten Bandung.

Respon (180)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *