Seberapa Penting Jurnalistik bagi Pelajar?

Oleh Aep Ahmad Senjaya

56986760 10218602182347189 4378642149508382720 n
Aep Ahmad Senjaya, (Foto: Dok. Pribadi).

ZONALITERASI.ID SAYA yakin seyakin-yakinnya, (lagi-lagi harus menuliskan kalimat ini, hehehe). Seringkali kita jengkel ketika melihat anak tak berhenti memainkan gawai. Ya kaaan … pasti deh seperti itu. Bagaimana tidak, nyaris seharian mereka ‘mager’, seolah ‘gabut’ dan ‘damat’ lakunya hanya sekadar ‘culak-colek’ wajah ponsel. Manakala dipanggil menjawab pun ‘gaje’. Hwuadyuh… mak ampun!

Tapi ya bagaimana lagi, toh bagi anak-anak, ‘noelan beungeut hape’ atau ‘ngeundeuk-ngeundeuk hape’ gara-gara ada sofee [hehe ada iklan lewat] adalah hiburan. Ini kenyataan. Dari gawai yang digenggam, mereka akan mendapatkan berbagai suguhan yang menghibur, mulai dari game, film yutub, tayangan audio-visual Instagram, pesbuk ngobrol via WhatsApp chat, bahkan beli makanan pun bisa dari situ.

Sialnya, tak hanya itu yang mereka terima –dari gawai cerdas yang kita belikan untuk mereka itu, jutaan konten minus turut mengipas-ngipasi benak dan angannya. Kipasan konten negatif itu pun kemudian merasuk ke dalam benak, kemudian terlahir dalam wujud habittraits bahkan karakter.

Begitulah, polos dan lugunya anak-anak itu memang ‘mengharuskan’ mereka berlaku demikian. Mereka adalah audiens pasif yang sangat rentan akan semburan stimulant dari media informasi. Ini sunnatullah! Tidak mungkin kita menahannya, ya khan? Hayo ngaku sajalah, meskipun seorang jendral berbintang tujuh yang hyper-kereng pasti terlibat dalam perusakan mental dan karakter anak-anak kita. Contohnya… tuh di atas, udah ditandai tebal.

Inilah fenomena yang harus kita tanggung belakangan ini. Mau ataupun tidak akan beginilah keadaannya. Bukankah selama ini kita tak mampu menolak keinginan anak? Nah …, ini akan terus dan terus, berulang-kelindan manakala tidak segera ditata.

Bagaimana caranya?

Seorang teman pernah menjawab begini. Atau jangan teman, saya ajalah contohnya.

“Gampang saja,” jawabku. “Sibukkan anak kita berbagai kegiatan. Beres!”

Lah… isa kepriwe … gimana bisa, lha wong itu gadget isih ngglayut, masih mereka genggam kok ….”

Noh… ndelok noh… bocahmu sing pithik-pithik kerjane guyon sama hape, padahal diae kegiatane akeh tenan, jeh,” sergah temanku.

Dipikir-pikir, benar juga adanya. Sesibuk apapun selama sakadang hengpon masih ngagantel di badannya ya gitu. Jutaan informasi akan diterimanya. Lakadalah … suwene rek! Puyeeeengg …. Puyeeng.

Memang, keberadaan ponsel pintar itu tidak pernah bisa kita cegah. Apalagi saat ini anak-anak baik di kota dan desa sudah mulai menggengamnya. Pun halnya dengan arus informasi, ini tidak mungkin dicegah. Anak-anak akan dengan mudah menerimanya melalui ponsel. Tak ada kuota pun tidak jadi halangan. Saat ini nyaris di setiap ruang publik di berbagai pelosok sekalipun kita akan mendapatkan tambatan sinyal. So … informasi pun akan dapat diperoleh dengan gratis.

Dengan fenomena arus informasi yang derasnya luar biasanya ini, untunglah bangsa ini cepat tanggap. Meskipun terlambat, lembaga-lembaga pendidikan segera disusupi oleh sebuah program yang bernama literasi. Kita tahu toh –apalagi para pendidik— bahwa di abad ke-21 ini, kecakapan literasi menjadi salah satu kompetensi dalam dunia pendidikan. Penerapan literasi sebagai salah satu kompetensi dalam pendidikan ini dimaksudkan untuk menstimulasi kekritisan anak dalam berpikir secara logis dan sistematis.

Naaah … menimbang istilah ‘kritis’, ‘logis’, dan sistematis dalam dunia literasi salah satunya adalah dengan aktivitas jurnalistik. Di samping mendorong ketiga unsur tadi, Jurnalistik pun menjadi sebuah alat untuk menangkal pengaruh berita-berita hoax dan fake yang marak tersebar di media sosial.

Disigi dari output jangka panjang atau sebut saja outcome, jurnalistik sangat memungkinkan untuk melatih mentalitas anak, terutama dalam sikap ilmiah, ‘ngotot’ atau bersungguh-sungguh dengan tekun, mandiri, kolaboratif, disiplin waktu, jujur, dan hanya berpihak pada kebenaran atau keharusannya. Dan satu lagi, berani tampil untuk mengemukakan gagasan atau mengkoreksi sesuatu yang tidak seharusnya atau tidak benar, tentunya dengan sikap ilmiahnya itu.

Demikian aktivitas jurnalistik dan outcome-nya. Coba saja bayangkan, apa sih yang harus kita miliki untuk melakukan sebuah reportase? Tentu saja kemampuan berinteraksi dengan manusia lain. Hal ini sependek pemahaman saya, bukanlah merupakan sesuatu yang taken for granted, melainkan terjadi karena bentukan. Meskipun ada yang mengatakan, misalnya si A wanteran atau [pemberani dalam bahasa Sunda]. Sikap ini tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan karena sebuah proses interaksi yang sebelumnya dialami oleh yang bersangkutan. Boleh jadi –salah satunya—karena lingkungan keluarganya yang memang tanpa sadar membentuk karakter itu.

Dalam reportase pun seseorang membutuhkan sikap ilmiah. Tidak mungkin seorang jurnalis dapat mengkaji sebuah masalah dengan benar jika tidak memiliki sikap ilmiah. Untuk menyajikan sebuah peristiwa tidaklah cukup hanya dengan bekal ‘kata orang’. Tetapi juga dibutuhkan pemahaman empiris tentang peristiwa yang akan disajikan. Misalnya, ketika terjadi peristiwa banjir, informasi yang disajikan tidaklah cukup jika hanya mengandalkan informasi “apa’, ‘siapa’, dan ‘kapan’ belaka, apalagi hanya dari saksi di lokasi kejadian. Sajian harus dilengkapi dengan aspek ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’.

Untuk mendapatkan dua informasi terakhir disebut di atas, tentu seorang reporter harus mengetahui, ke mana ia harus mencari sumber. Pemahaman atas mereka yang akan dijadikan sumber ini hanya akan didapat manakala sang reporter memahami masalah yang akan disajikan secara empiris. Tidak mungkin bukan?! jika kita menanyakan penyebab banjir secara benar hanya kepada masyarakat penderita saja.

Begitu juga dengan sikap-sikap yang lain, seperti diurai di atas; ilmiah, kolaborastif, ‘ngotot’, mandiri, disiplin waktu, jujur, dan lain-lain itu bukanlah karakter yang terjadi dengan sim salabim. Semuanya merupakan bentukan, baik disadari maupun tidak disadari.

Demikian saja dulu pengantar ngobrol kita hari ini, bila ada kekurangan mohon dimaafkan.

Hatur nuhun …

Wallahul muwaffiq ila aqwamit-thariq
Wassalamualaikum wr. wb.***

(catatan untuk bincang jurnalistik di Komunitas Media Pembelajaran – Bandung, Juni 2023)

Aep Ahmad Senjaya,  alumni Jurusan Pendidikan Geografi FPIPS IKIP Bandung (UPI). Di sela aktivitas mengelola Zonaliterasi.id dan penerbitan buku, ia kerap diundang sebagai instruktur pelatihan jurnalistik.