BAGI banyak orang yang terbiasa dengan kehidupan kantoran yang penuh target dan tenggat waktu, transisi menuju konsep “slow living” atau hidup perlahan sering kali terasa sulit. Di kota-kota besar, ritme kehidupan sangat cepat, semuanya dilakukan dengan efisiens dan sering kali tidak ada waktu untuk berhenti sejenak. Hidup dipenuhi dengan tugas-tugas yang berkesinambungan—ketika satu tugas selesai, tugas lain menunggu. Bahkan saat istirahat, pikiran masih terjebak dalam rutinitas, seakan dikejar waktu. Di tengah segala tuntutan ini, menikmati momen secara penuh sering kali menjadi sebuah kemewahan yang sulit diraih.
Namun, di balik gaya hidup modern yang sibuk, ada sebuah imajinasi bahwa kehidupan di desa, dengan gaya hidup yang lebih lambat, mendatangkan kebahagiaan dan kepuasan pribadi. Gaya hidup ini, yang dikenal dengan istilah “slow living”, mengajak kita untuk menghargai setiap momen, memperlambat laju, dan menikmati proses kehidupan secara mendalam. Tetapi benarkah hidup lambat ini adalah solusi dari segala keresahan hidup modern? Dan, bagaimana cara orang yang terbiasa dengan hidup cepat bisa beradaptasi?
Sejak awal revolusi industri hingga era digital, paradigma yang dominan dalam kehidupan urban adalah produktivitas dan efisiensi. Waktu menjadi aset berharga yang harus dimanfaatkan dengan baik. Orang-orang berusaha memaksimalkan setiap jam dalam sehari, mengejar tujuan dan target, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadi. Masyarakat sering kali melihat kesuksesan dengan hasil yang dapat diukur, pencapaian profesional, peningkatan materi, atau status sosial.
Dalam konteks ini, hidup perlahan bisa dianggap sebagai sebuah kemunduran. Tidak menghasilkan sesuatu yang nyata atau berarti dan sering dianggap sebagai “pemborosan waktu”. Maka tak heran jika seseorang yang terbiasa dengan pola hidup ini akan merasa cemas atau tidak nyaman ketika mencoba untuk melambat.
“Slow living” mengajarkan untuk lebih fokus pada proses daripada hasil. Konsep ini tidak hanya berbicara soal lambat secara harfiah, melainkan tentang mengambil jeda, memberi diri kita waktu untuk menikmati momen-momen kecil, dan mengurangi stres yang diakibatkan oleh tuntutan hidup yang terus-menerus. Dalam hidup lambat, perhatian tidak hanya diarahkan pada apa yang harus dilakukan selanjutnya, tetapi juga pada bagaimana merasakan dan mengalami hidup saat ini. Menikmati sarapan tanpa tergesa-gesa, berjalan-jalan di luar rumah tanpa tujuan tertentu, atau sekadar membaca buku favorit tanpa memikirkan pekerjaan yang menunggu adalah contoh dari hidup perlahan yang sering didambakan oleh mereka yang terjebak dalam rutinitas kota yang cepat.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah: apakah hidup perlahan ini mampu memberikan kepuasan bagi mereka yang terbiasa hidup dengan ritme cepat dan berorientasi hasil?
Bagi mereka yang terbiasa dengan kehidupan penuh target, transisi menuju “slow living” bisa menjadi tantangan besar. Ketika seseorang sudah terbiasa dengan ritme hidup yang cepat, setiap momen yang tidak produktif sering kali menimbulkan rasa cemas atau bersalah. Hidup perlahan bisa dianggap sebagai “tidak berbuat apa-apa”, yang berlawanan dengan nilai-nilai produktivitas yang dipegang teguh. Selain itu, kebiasaan hidup terburu-buru juga menjadi sesuatu yang mendarah daging, sehingga mengubah pola pikir ini memerlukan waktu dan usaha yang cukup besar. Tekanan sosial dan lingkungan juga turut mempersulit, terutama di masyarakat urban yang menuntut kinerja tinggi dan menilai kesuksesan dari seberapa banyak yang bisa dicapai dalam waktu singkat.
Meskipun tantangannya besar, bukan berarti hidup perlahan tidak bisa membawa manfaat bagi mereka yang terbiasa dengan kehidupan cepat. Justru, jika didekati dengan cara yang tepat, “slow living” dapat menawarkan kesempatan untuk memperbaiki keseimbangan hidup dan meraih kebahagiaan yang lebih mendalam. Hidup perlahan bukan berarti meninggalkan produktivitas. Tetapi tentang membuat batasan yang jelas antara waktu untuk bekerja dan waktu untuk istirahat. Dengan cara ini, seseorang tetap bisa menyelesaikan tugas-tugas penting, namun juga memberi diri kesempatan untuk beristirahat.
Selain itu, hidup perlahan juga mengajarkan untuk fokus pada kualitas daripada kuantitas. Daripada mengukur kesuksesan berdasarkan jumlah tugas yang diselesaikan, fokuslah pada kualitas pekerjaan yang dilakukan. Sering kali, pekerjaan yang dilakukan dengan lebih tenang dan fokus akan menghasilkan yang lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan tergesa-gesa. Selain itu, belajar menghargai momen-momen kecil dalam kehidupan sehari-hari, seperti menikmati secangkir kopi di pagi hari atau menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga, bisa membantu mengurangi perasaan terburu-buru yang sering mendominasi kehidupan modern.
Melibatkan praktik “mindfulness” atau kesadaran penuh dalam rutinitas sehari-hari juga bisa menjadi langkah yang efektif untuk membantu orang yang terbiasa hidup cepat agar lebih menikmati momen saat ini. Hal ini bisa dimulai dengan hal-hal kecil, seperti memperhatikan pernapasan atau memberikan perhatian penuh saat makan. Dengan memadukan produktivitas dan pendekatan hidup perlahan, kita bisa mencapai keseimbangan yang lebih baik antara tujuan dan kebahagiaan pribadi. ***
Suheryana Bae, pemerhati sosial, tinggal di Ciamis Jawa Barat