Soal Jaringan Global Kota Pembelajaran UNESCO, Indonesia di Bawah Iran dan Cina

FOTO ARTIKEL 32
(Foto: UNESCO)

Oleh Herry Supryono

UNESCO pada tahun 2015 meluncurkan Global Network of Learning Cities atau jaringan global kota pembelajaran. Program ini ditujukan untuk memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup untuk semua warga.

Kota pembelajaran didefinisikan sebagai kota yang mengerahkan segenap sumber yang dimilikinya di semua bidang untuk pembangunan dinamis ke arah pendidikan serta pembelajaran seumur hidup berkualitas dan setara bagi semua.

Sebuah kota yang menyandang predikat kota pembelajaran, adalah kota yang memiliki keunggulan seperti partisipasi masyarakat yang tinggi. Atau secara umum peningkatan modal sosial yang bisa berpengaruh pada tata kelola kota melalui partisipasi masyarakat dan partisipasi antarinstansi.

Jumlah universitas, sekolah, pusat pendidikan, pendidikan untuk berbagai jenjang usia, serta ragam pendidikan di bidang budaya dan kesenian, di antara faktor yang menentukan keanggotaan sebuah kota dalam jaringan ini.

Pada 17 Juli 2019, UNESCO Global Network of Learning Cities menambahkan 38 anggota baru dari 23 negara dunia. Termasuk 2 kota dari Iran yaitu Mashhad dan Yazd.

Seperti dilaporkan kantor berita Iran, IRNA, dengan penambahan dua kota, total kota Iran yang menjadi anggota jaringan global kota pembelajaran UNESCO, menjadi 5 kota yaitu Mashhad, Yazd, Kashan, Hashtgerd, dan Shiraz. Posisi ini sama dengan yang dicapai Cina dengan 5 kota.

Sementara seperti dikutip dari situs UNESCO, https://uil.unesco.org/, hanya satu kota di Indonesia yang masuk jaringan global pembelajaran UNESCO yaitu Kota Surabaya.

Situs Kemendikbud https://kniu.kemdikbud.go.id/?p=424 menjelaskan, Kota Surabaya mengusung program-program yang mendukung pembentukan kota pembelajaran/learning city dalam nominasinya untuk menjadi anggota Global Network of Learning Cities, antara lain adalah:

a) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan terkait pendidikan melalui pelaksanaan konferensi atau seminar pendidikan;

b) menyediakan akses bebas biaya atas seluruh fasilitas pemerintahan yang menunjang pendidikan;

c) menyediakan website yang memuat informasi terkait seluruh hal yang menunjang pendidikan seperti profil–profil sekolah, sistem pendidikan, online tryout, dan jurnal–jurnal pendidikan;

d) mempromosikan Program Peningkatan Kampung sebagai salah satu sarana untuk melestarikan budaya kampung;

e) memfasilitasi pelatihan–pelatihan yang dapat meningkatkan keterampilan dan kompetensi masyarakat serta memberdayakan masyarakat;

f) menyediakan fasilitas kesehatan yang dapat diakses melalui website;

g) menerapkan pendidikan inklusif di sekolah – sekolah negeri di seluruh tingkat pendidikan; dan

h) mengadakan kegiatan/acara/perayaan yang bertujuan untuk mempromosikan dan menjaga proses pembelajaran sepanjang hayat dalam masyarakat.

Data di atas menunjukkan bahwa perhatian dan upaya mewujudkan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil, serta mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup bagi semua warga, di Indonesia dinilai masih cukup rendah.

Jika dilihat bagaimana bisa kota-kota di Iran misalnya terpilih menjadi anggota UNESCO Global Network of Learning Cities ada sejumlah faktor yang melatarinya.

Sebagai contoh, kota Mashhad di Iran meluncurkan program bernama “Wakaf Literasi”, sebuah program berbasis partisipasi warga dengan target memberantas buta huruf dalam jangka waktu setahun. Di kota ini terdapat sekitar 29.000 warga buta huruf.

Program literasi memberantas buta huruf di Mashhad ditambah dengan jenis literasi lain seperti Literasi Keuangan. Semua infrastruktur pendukung program ini dihimpun oleh masyarakat kota sendiri, bukan pemerintah.***

Herry Supryono, pemerhati masalah sosial. Kini tengah berjalan-jalan di Timur Tengah.