Survei FSGI: Mayoritas Guru Setuju UN Dihapus dan PPDB Sistem Zonasi Dipertahankan

ILUSTRASI ZONASI 1536x1137 1
Survei yang dilakukan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan, mayoritas guru setuju kebijakan Ujian Nasional dihapus dan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Sistem Zonasi dipertahankan, (Ilustrai: Istimewa).

ZONALITERASI.ID – Survei yang dilakukan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan, mayoritas guru setuju kebijakan Ujian Nasional (UN) dihapus dan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Sistem Zonasi dipertahankan.

Survei dilakukan pada 17 sampai 22 November 2024 dengan menggunakan google form. Adapun responden survei berjumlah 912 guru yang tersebar 15 provinsi.

Sekjen FSGI, Heru Purnomo, memaparkan, sebanyak 58,9 persen responden merupakan guru di jenjang SMP/MTs, 25 persen guru SMA/MA/SMK, 10, persen guru SD/MI, dan 6 persen guru SLB. Kemudian, 56,4 persen responden merupakan guru perempuan dan 43,6 persen adalah guru laki-laki.

“Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 87,6 persen responden setuju UN dihapus. Beberapa alasan responden yang setuju UN dihapus adalah banyaknya kecurangan sistematis dan masif dalam pelaksanaan UN, UN menimbulkan tekanan terhadap peserta didik, serta kondisi dan kualitas pendidikan yang belum merata,” kata Heru, dalam siaran pers, Minggu, 24 November 2024.

Selanjutnya Heru mengatakan, sebanyak 72,3 persen responden setuju PPDB Sistem Zonasi dipertahankan. Alasan responden yang setuju sistem zonasi dipertahankan salah satunya adalah karena kebijakan ini memberikan kesempatan bagi anak dari berbagai latar belakang untuk mengakses sekolah negeri. Selain itu, kebijakan ini dinilai mampu mendorong penambahan sekolah negeri baru di daerah-daerah yang belum memiliki sekolah negeri.

Political Will Pemerintah Daerah

Menurut Heru, akar masalah sistem zonasi bukan terletak pada adanya kecurangan atau tidak, melainkan pada political will dari pemerintah daerah untuk memenuhi hak atas pendidikan.

“Karena mau diganti seperti apapun sistemnya, kalau pemerintah daerah tidak pernah membangun sekolah negeri baru di kelurahan atau kecamatan yang tidak memiliki sekolah negeri, maka permasalahan yang dihadapi akan tetap sama, yaitu hanya sekitar 30-40 persen peserta didik yang dapat bersekolah di sekolah negeri”, ujar Heru.

Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, mengungkapkan, sistem PPDB sebelumnya hanya menguntungkan kelompok yang mampu secara ekonomi karena diserahkan pada mekanisme pasar.

“Sistem PPDB zonasi justru menghendaki kehadiran negara agar sekolah negeri dapat diakses oleh siapapun, baik pintar atau tidak, kayak atau tidak, dan seterusnya”, ujar Retno.

Diketahui, nasib pelaksanaan UN dan PPDB zonasi ramai diperbincangkan sejak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengatakan akan mengkaji kebijakan pendidikan yang diberlakukan di era menteri sebelumnya. Namun, dia mengatakan diberi pesan oleh Presiden Prabowo Subianto untuk tidak terburu-buru dalam menetapkan kebijakan.

“Pesannya Pak Presiden kan memang ojo kesusu (jangan terburu-buru),” kata Mu’ti, di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, Senin, 11 November 2024, dikutip dari Tempo.co.

Sejarah Penerapan Sistem Zonasi PPDB

Sistem zonasi diimplementasikan secara bertahap sejak 2016 yang diawali dengan penggunaan zonasi untuk penyelenggaraan ujian nasional. Sistem ini kemudian diterapkan pertama kalinya dalam PPDB pada 2017. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang kali pertama menerapkan sistem zonasi adalah Muhadjir Effendy.

Pemberlakukan sistem zonasi ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Mendikbud (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat.

Permendikbud tersebut mengatur, sistem zonasi harus diterapkan sekolah ketika menyeleksi calon peserta didik baru. Pada saat itu, sistem zonasi mengharuskan sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah. Jumlah yang diterima berdasarkan radius zona terdekat sebanyak 90 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima.

Lolos atau tidaknya siswa ditentukan oleh domisili sesuai alamat pada KK yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum PPDB dilaksanakan. Sementara kuota 10 persen diisi oleh calon peserta didik melalui jalur prestasi dan perpindahan domisili.

Dalam penerapan pada tahun-tahun berikutnya, sistem zonasi PPDB terus menimbulkan polemik. Orang tua siswa, aktivis pendidikan, hingga beberapa kepala daerah turut menyoroti berbagai permasalahan yang timbul selama keberjalanan sistem ini

Beberapa isu yang diketahui adalah kecurangan pindah domisili atau menumpang Kartu Keluarga (KK) yang dekat dengan sekolah favorit hingga sejumlah sekolah ‘pinggiran’ yang terpaksa tutup karena kekurangan murid.

Anggota Komisi X DPR RI saat itu, Bramantyo Suwondo, meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membenahi sistem zonasi PPDB, buntut dari polemik PPDB DKI Jakarta 2020.

Sebelumnya, polemik tersebut muncul lantaran banyak siswa gagal masuk sekolah negeri melalui sistem zonasi hanya karena usia yang mereka terlalu muda.

Tak hanya itu, sejumlah pelajar di Surabaya bahkan sempat menggelar aksi protes sistem PPDB pada pertengahan 2021 agar pemerintah segera menghapus sistem penerimaan siswa jalur zonasi.

Menanggapi berbagai masalah yang terjadi, Kemendikbudristek menyatakan akan membentuk satgas PPDB.

Meski telah menerima banyak penolakan dari publik, Mendikbudristek saat itu, Nadiem Makarim menyatakan tidak akan mengubah kebijakan terkait PPDB jalur zonasi.

Nadiem menilai kebijakan warisan Muhadjir Effendy itu penting untuk mengatasi kesenjangan dan bakal tetap dilanjutkan.

“Kami kena getahnya setiap tahun karena zonasi. Tetapi kami semua merasa bahwa ini harus dilanjutkan karena penting,” kata Nadiem dalam acara BelajaRaya di Pos Bloc, Jakarta Pusat, 29 Juli 2023, dilansir dari CNNIndonesia. ***