Survei GSM: Siswa Paling Banyak Rasakan Emosi Negatif Saat PJJ

5d36c51358f4b 1
Survei GSM menunjukkan emosi yang paling banyak dirasakan siswa saat PJJ pada masing-masing jenjang adalah emosi negatif, (Ilustrasi: Kompas.com).

ZONALITERASI.ID – Survei yang dilakukan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menunjukkan, emosi yang paling banyak dirasakan siswa saat pembelajaran jarak jauh (PJJ) pada masing-masing jenjang adalah emosi negatif dibandingkan positif dan netral.

Survei dilakukan terhadap 1.263 siswa dengan sebaran 553 siswa SD, 445 siswa SMP, dan 265 siswa SMA/SMK/MA.

“Emosi negatif menduduki peringkat pertama hal yang dirasakan terhadap tugas-tugas dari guru selama PJJ. Makin tinggi jenjang pendidikan, gap antara emosi positif dan negatif makin lebar,” kata Founder GSM, Muhammad Nur Rizal, dalam konferensi pers virtual, Selasa (10/8/2021).

Ia mengungkapkan, tugas yang disampaikan guru, dirasakan siswa bukan meningkatkan kompetensi belajar. Namun dianggap sebagai beban. Itu mengakibatkan anak merasa tidak senang dengan belajar.

“Siswa merasa tidak ada keinginan belajar dan tidak produktif dalam belajar. Hal ini berdampak pada penurunan kecerdasan dalam membangun peradaban yang makin berdampak ke learning loss,” ujar dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Kesulitan Belajar

Hasil survei GSM juga menyebutkan, kesulitan belajar menempati posisi tertinggi pada jenjang SD, SMP, SMA/SMK/MA. Selanjutnya, disusul oleh permasalahan jaringan dan perasaan demotivasi.

“Survei membuktikan makin dewasa jenjang pendidikan siswa, makin merasa tidak berguna proses belajar PJJ karena merasa tidak produktif dan tidak mendapatkan keterampilan serta pengetahuan baru,” katanya.

“Survei tersebut menunjukkan bahwa learning loss makin menganga. Bukan karena rendahnya akses terhadap proses belajar. Namun, lebih pada proses belajar itu sendiri tidak berkualitas. “Jadi ada double learning loss,” sambungnya.

Nur Rizal menambahkan, sayangngya, pemerintah belum fokus menangani masalah kesulitan belajar dan demotivasi sebagai permasalahan mendasar di pendidikan sejak sebelum pandemi Covide-19.

“Pemerintah terlalu fokus pada penyelesaian masalah jaringan,” pungkasnya.***