ZONALITERASI.ID – Pengetahuan tentang Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) penting diberikan kepada anak-anak remaja berkebutuhan khusus, khususnya untuk peserta didik tunagrahita.
Salah satu tim penyusun modul Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Tunagrahita, Budi Hermawan, mengatakan, selama ini, pengetahuan tentang PKRS, sering diabaikan para stakeholder pendidikan dan lingkungan sekitar karena tunagrahita dianggap tidak memiliki libido seksual.
“Padahal, anak-anak dengan disabilitas intelektual (tunagrahita) kematangan reproduksinya lebih cepat dibandingkan dengan anak pada umumnya. Sebab itu, mereka perlu diberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas,” kata Budi saat Peluncuran Buku Modul Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas bagi Tunagrahita, dikutip dari laman pmpk.kemdikbud.go.id, Sabtu, 8 Oktober 2023.
Menurut Budi, pihak sekolah yang bekerja sama dengan orang tua harus terus-menerus menyampaikan PKRS kepada tunagrahita.
Namun, lanjut Budi, karena peserta didik tunagrahita tidak mudah ingat, prinsip pembelajaran terhadap tunagrahita berbeda dengan yang lainnya.
Materi yang diajarkan kepada mereka perlu dilakukan secara berulang, dengan didahului memberikan contoh-contoh, penjelasan yang sederhana, praktik, dan melalui visual. Aspek penekanan kata-kata kunci dan penggunaan bahasa isyarat juga harus diutamakan.
“Remaja tunagrahita sangat menginginkan contoh yang sangat konkret sehingga perlu disampaikan dampak yang nyata kepada mereka apabila melakukan hal-hal yang sudah dilarang,” terangnya.
Sementara itu, untuk mengintegrasikan PKRS ke dalam kurikulum, maka pertama-tama guru perlu mengidentifikasi mata pelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar setiap topik. Selanjutnya, bisa memilih strategi atau teknik yang cocok untuk menyampaikan materi PKRS kepada peserta didik remaja dengan disabilitas intelektual.
“Ya, selanjutnya mengidentifikasi dan memilih media yang tepat agar materi PKRS dapat dipahami secara baik oleh peserta didik remaja. Media pembelajaran tersebut mesti konkret, populer, atau tidak asing bagi anak. Lalu, pada prinsipnya model pembelajaran haruslah diterapkan dengan prinsip repetisi, dan tidak menggunakan katakata yang ambigu,” jelas Budi. (haf)***