NEWS  

Demo Selfi Hepi, Protes Keras Penyegelan Pemakaman Tokoh Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan

FOTO NG 205
Gusjur Mahesa (kiri) berfoto selfi saat menyampaikan aspirasi yang mengkritisi penyegelan pemakaman tokoh masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan, (Foto: Istimewa).

ZONALITERASI.ID – Beberapa orang yang menyampaikan aspirasi lewat cara bertajuk “Demo Selfi Hepi dan Puisi”, menggelar aksi di halaman Gedung Sate, Jln. Diponegoro Bandung, Senin (27/7/2020). Mereka memprotes keras tindakan Satpol PP Pemkab Kuningan yang menyegel pemakaman tokoh masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan di situs Curug Goong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan pada 20 Juli lalu.

Penggagas aksi, Gusjur Mahesa, mengatakan, sebagai seniman individu dan massa lainnya yang datang dalam aksi itu, ingin Bumi Nusantara ini damai, tenang, sehingga tercapai gemah ripah loh jinawi, tata tentram raharja.

“Batalkan penyegelan pemakaman tokoh masyarakat AKUR Sunda Wiwitan di situs Curug Goong Senin tanggal 20 Juli 2020 oleh Satpol PP Pemkab Kuningan. Beri kebebasan masyarakat AKUR Sunda Wiwitan di situs Curug Goong untuk menjalankan ritual dan beribadat sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya,” kata Gusjur.

“Kalau penyegelan ini dengan alasan bahwa situs pemakaman tokoh masyarakat AKUR Sunda Wiwitan di situs Curug Goong ini tidak memiliki ijin IMB (Izin Mendirikan Bangunan), maka berapa banyak situs-situs pemakaman dan tempat ibadah di kampung-kampung di seluruh Nusantara harus disegel?” tanyanya.

Ia mengungkapkan, harusnya aturan-aturan (IMB) tidak menyalahi hukum lebih tinggi yaitu UUD 1945.

“Bagaimana mungkin hukum pada level bawah menyalahi aturan hukum yang lebih tinggi kedudukannya dalam tata negara? Begitu menurut filsafat hukum, kalau gak salah,” ungkap seniman berjuluk Presiden Republik Gelo itu.

Dikatakannya, penyegelan pemakaman tokoh masyarakat Sunda Wiwitan di situs Curug Goong oleh Satpol PP Pemkab Kuningan membuat Pancasila mati suri, negara tidak bisa melindungi warga negaranya.

Kata Gusjur, itu masuk kategori pelanggaran ideologi Pancasila yang justru dilakukan oleh pemerintah daerah.

“Di manakah makna sila pertama dari Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa? Dan tindakan satpol PP Pemkab Kuningan ini telah melanggar UUD 1945 Republik Indonesia pasal 28E ayat (1) dan (2), serta pasal 29 ayat (2). Pasal 28 E Ayat (1) yang berbunyi ‘Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memeilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali’,” sebutnya.

“Dalam Pasal 28E Ayat (2) juga disebutkan ‘Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya’ dan Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’,” imbuh Gusjur.

Ia menambahkan, penyegelan oleh Satpol PP Pemkab Kuningan ini juga melanggar Deklarasi HAM PBB Pasal 18 yang berbunyi, ‘Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah, dan mentaatinya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun dalam lingkungan sendiri’.

“Deklarasi HAM PBB adalah nilai-nilai universal yang disepakati semua negara (anggota) PBB yang ada di planet bumi ini. Apakah Pemkab Kuningan tidak berada di planet bumi ini?” tanya Gusjur lagi. (des)***