Bandung Heritage, Berjibaku Lestarikan Bangunan Tempo Doeloe

villa isola
Villa Isola, bangunan tempo dulu di Kota Bandung, (Foto: Jejakpiknik.com).

ZONALITERASI.ID Berbicara seputar pelestarian gedung-gedung warisan tempo doeloe di Paris van Java, seperti Villa Isola, Gedung Sate, Gedung Pakuan, Mapolrestabes, Kantor Pos Besar, Gedung SMAN 3 dan SMA 5 Bandung, Gedung SMPN 2 Bandung, serta Aula Barat ITB, orang tentu mengenal nama Bandung Heritage.

Nama itu terdengar pendek. Sebenarnya, nama paguyuban ini tak hanya dua kata. Nama lengkapnya yaitu Bandung Society for Heritage Conservation atau Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung.

Kiprah paguyuban yang diketuai Harastoeti D.H. itu dalam mengenalkan gedung-gedung bersejarah kepada masyarakat dan memperjuangkan perlindungan terhadap keberadaan gedung-gedung itu, terdengar sejak lama. Ketika Bandung Heritage lahir pada 1987, paguyuban ini bertekad ingin melestarikan gedung-gedung di Bandung, lingkungan, dan budayanya.

Sekretaris Bandung Heritage, Koko Komara, menyebutkan, di Kota Bandung terdapat sebanyak 700 bangunan tempo doeloe yang dibangun pada zaman Belanda. Namun, dari 700 bangunan tua itu, hanya tersisa sebanyak 100 bangunan saja. Sebanyak 600 bangunan lainnya, lenyap tak berbekas.

“Masa paling suram hilangnya bangunan tua di Kota Bandung terjadi pada masa Wali Kota Ateng Wahyudi. Saat itu, hampir 40 persen bangunan tempo doeloe lenyap,” kata Koko, didampingi Bagian Keanggotaan dan Sukarelawan Bandung Heritage, Tubagus Adhi, kepada Zonaliterasi.id, di Sekretariat Bandung Heritage, Jalan L.L. R.E. Martadinata 209 Bandung, beberapa waktu lalu.

Menurut Koko, ketidakjelasan visi pemerintah dalam menata Kota Bandung, menjadi biang hilangnya bangunan tempo doeloe di Kota Kembang ini. Pemerintah, kata dia, tak lagi memperhatikan pentingnya keserasian antara keberadaan bangunan dengan tata ruang kota.

“Sejak zaman Belanda, KBU (kawasan Bandung Utara) misalnya, ditetapkan sebagai kawasan resapan air. Namun, lihat yang terjadi saat ini. Di KBU, yang mengemuka lebih kepada pengembangan ekonomi. Di sisi lain, kendati pemerintah telah menetapkan KBU sebagai kawasan yang tidak boleh dijadikan lahan pendirian bangunan, aturan hanya menjadi macan ompong. Keras di atas keras, namun tak bertaring saat diaplikasikan di lapangan,” terangnya.

Koko mengungkapkan, dia sangat jengkel saat pemerintah begitu mudah melenyapkan bangunan warisan tempo doeloe. Seharusnya, kata dia, pemerintah berkaca kepada negara Prancis, Italia, bahkan Singapura. Kendati di negara-negara itu pembangunan sangat gencar dilakukan, namun tak dengan serta-merta meruntuhkan bangunan yang terlebih dahulu berdiri.

“Di Kota Milan Italia dan Singapura misalnya, bangunan tua tetap dilestarikan. Keeksisan bangunan itu justru memperindah kota. Dan itu menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang mengunjungi dua kota itu,” katanya.

Ditambahkannya, niatan pemerintah untuk meluncurkan regulasi terhadap pelestarian gedung tempo doeloe memang terlihat. Lahirnya Perda No. 19/ Tahun 2009 tentang Cagar Budaya dan Perwal No. 921/Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya menjadi bukti dari keinginan itu. Selain itu, Pemkot Bandung juga telah membentuk Tim Pertimbangan Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya (TPPKBCB)

“Namun, segalanya tak cukup hanya dengan menerbitkan peraturan dan membentuk tim. Yang diperlukan saat ini adalah langkah konkret dalam melestarikan dan memelihara kawasan serta bangunan cagar budaya,” pungkas Koko. (dede suherlan)***