ZONALITERASI.ID – Berawal dari kedai buku, Institut Nalar Jatinangor kemudian menjadi wadah berdiskusi dan bertukar gagasan tentang berbagai persoalan. Lembaga ini divisikan untuk mengakomodasi terbentuknya masyarakat majemuk, egaliter, setara, dan berkeadilan.
SEJAK berdiri pada 20 Mei 2000, Institut Nalar Jatinangor yang didirikan oleh Hikmat Gumelar, Mona Silviana, Tedi Muhtadin, Nana Suryana, Ariza, Aquarini Prabasmoro, Bonardo Maulana, Heni Irawati, dan Indah Lestari, telah menggelar beragam kegiatan. Mulai diskusi kecil, diskusi publik, hingga kelas menulis dihelat oleh lembaga ini.
Tak cukup sampai di situ. Bekerja sama dengan Sabas Foundation, Institut Nalar Jatinangor memiliki garapan besar membuat data base budaya Sunda.
Direktur Eksekutif Institut Nalar Jatinangor, Hikmat Gumelar, mengungkapkan, keinginan untuk membuat data base budaya Sunda dilatari pemikiran, saat ini data budaya Sunda sangat minim.
“Data base ini ibarat wikipedia budaya Sunda. Untuk menggarap data base ini, juga melibatkan beberapa akademisi dari Unpad,” kata Hikmat, kepada Zonaliterasi.id, beberapa waktu lalu.
Pemikiran-pemikiran yang ditelurkan di Institut Nalar Jatinangor memang terdengar aneh di telinga orang kebanyakan. Simak saja lontaran pendapat Hikmat seputar kondisi Jatinangor saat ini.
Kendati secara kasat mata Jatinangor begitu hiruk pikuk dengan bejibunan orang yang datang dari berbagai kawasan di Tanah Air, namun di mata pria yang juga dikenal sebagai penyair ini, Jatinangor seperti kota tanpa warga.
Kata Hikmat, Jatinangor tidak memiliki wadah yang menjadi area untuk memasilitasi kehendak dan keinginan warga. Padahal, kata dia, beragam persoalan yang membelit warga, mulai sampah, air, hingga keamanan, menjadi persoalan keseharian yang kerap muncul.
“Saya berharap, seluruh warga Jatinangor, bersama-sama mencari solusi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Semua elemen masyarakat, mulai penduduk lokal hingga warga pendatang, dilibatkan untuk pengembangan Jatinangor,” tutur dia.
Hikmat menambahkan, selain fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah, perguruan tinggi (PT) yang ada di Jatinangor, seperti Unpad, ITB, IPDN, dan Ikopin, juga harus dirasakan keberadaannya oleh masyarakat.
“Dikenalnya Jatinangor sebagai kawasan pendidikan jangan diartikan secara sempit. Jatinangor bukan sekadar lokasi berdirinya perguruan tinggi. Namun, arti kawasan pendidikan itu bermakna luas. Pentingnya pendidikan juga harus dirasakan masyarakat Jatinangor. Untuk mewujudkannya, perguran tinggi harus memiliki niatan untuk terjun ke tengah masyarakat,” ujar dia.
“PT bisa berinisiatif untuk membuat perpustakaan yang didirikan di tengah masyarakat. Selain menjadi wahana untuk menambah wawasan melalui membaca buku, di tempat itu juga bisa digelar berbagai kegiatan seperti ngadongeng dan pelatihan menjahit,” pungkas Hikmat. (dede suherlan)***