Oleh Herry Supryono
PAGI itu Maang, 6 tahun sibuk memungut sampah di teras rumah disaksikan ibu dan kakak-kakaknya. Dua plastik besar hampir seukuran tubuhnya ditenteng anak kecil itu, satu untuk sampah organik, satunya lagi untuk sampah non-organik.
Keluarga Maang bukan orang kota, mereka tinggal di pedalaman Lebak, Banten, daerah Kenekes, Baduy Dalam yang terkesan jauh dari peradaban. Ya memang sedikit aneh bagi kita yang mengaku orang kota dan modern, masa iya orang Baduy yang tinggal di pedalaman, desa terpencil, juga tahu sampah organik dan non-organik, dan terbiasa memilahnya.
Kenyataannya orang Baduy sejak dini sudah diajari bukan hanya membuang sampah pada tempatnya, bahkan memilahnya. Realitas yang selama ini lebih banyak kita dengar terjadi di negara-negara modern semacam Jepang dan Eropa.
Kakak Maang, Komong sudah berusia 8 tahun dan tidak sekolah. Maksudnya tidak memakai seragam merah putih dan belajar di kelas. Bukan tidak belajar sama sekali, di rumah mereka tetap belajar dengan orangtua, terutama belajar menghitung, bercocok tanam dan tentunya menghargai alam.
Sapri, ayah Komong saat ditanya kenapa tidak menyekolahkan anaknya, menjawab karena kami orang Baduy tidak ingin anak kami gara-gara sekolah kelak malah “minteran batur”. Artinya belajar dari apa yang dilihatnya, Sapri khawatir jika sekolah, kelak anaknya justru akan memperdaya orang lain dengan kepintarannya, menipu atau berbuat licik kepada sesama.
Tentu maksudnya bukan melarang anaknya belajar, toh ia tetap mengajari anak-anaknya di rumah. Sikap itu mungkin muncul dari pengalaman yang ia lihat sendiri, sistem pendidikan negara yang selama ini gagal membendung lahirnya sebagian lulusan yang menjadi koruptor, politisi licik dan curang, orang-orang bermental bobrok yang kerjanya hanya menipu.
Sejujurnya cara berpikir dan sikap Sapri ini jika dilihat dari sudut pandang non-mainstream dapat dibaca sebagai kritik atas teori filsuf besar Inggris, Francis Bacon. Apa pasal, karena suatu waktu Bacon pernah berteori bahwa pengetahuan adalah kekuatan, “scientia potentia est” bahasa Latin yang berarti knowledge is power.
Menurut Bacon pengetahuan adalah kekuatan, siapapun pelakunya bahkan Firaun. Tapi dalam alam pemikiran Sapri, pengetahuan adalah kelembutan yang menyelimuti semua orang. Ia sekali-kali tidak boleh dijadikan alat untuk menguasai orang lain sebaliknya harus membantu sesama. Anak cucu Baduy kelak harus menjadi orang beradab, tidak boleh menjadi penipu, mungkin demikian pemikiran Sapri jika disimpulkan.
Sekalipun pengetahuan ampuh membuat seseorang dominan atas selainnya, tapi jelas bukan itu tujuan berpengetahuan. Pengetahuan laksana lentera yang menerangi di kegelapan, ia laksana kompas yang menuntun, bukan alat pembodohan. Senang melihat sesamanya bodoh dan tidak tahu apa-apa, tentu bukan definisi pengetahuan yang diyakini Sapri.
Cara berpikir yang menganggap pengetahuan adalah kekuatan sepertinya juga menjadi pijakan konsep komersialisasi pendidikan, pendidikan berorientasi ekonomi dan kerja. Permasalahan yang selalu dimunculkan adalah adanya jurang lebar antara dunia pendidikan dan industri, bukan soal merosotnya moral anak muda yang lebih gemar tiktok ketimbang mencoba wirausaha, atau lebih senang viral meski tubuhnya harus jadi tontonan umum.
Pendidikan jelas tidak sekadar menjamin seseorang menguasai keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja sehingga peserta didik diperlakukan layaknya mesin, ia juga tidak sekadar memberikan kemampuan intelektual semata yang dalam istilah Sapri kelak bisa digunakan membodohi orang lain. Pendidikan jauh lebih dari itu semua. Bukan memasok buruh untuk industri, sekali lagi bukan.
Butet Manurung, orang kota jebolan Antropologi Unpad yang menerobos hutan dan mendirikan Sokola Rimba di pedalaman belantara Jambi untuk suku Anak Dalam, pernah berseloroh, apakah pendidikan kita akan mengarah seperti tujuan para modernis ?
Lalu ia mengutip dialog seorang jutawan yang tengah berlibur di pantai, dan di sebelahnya duduk seorang pemuda menganggur. Jutawan bertanya, hey kenapa kau tidak bekerja, pemuda menjawab, untuk apa kerja, kata jutawan, biar sukses, masa kau tidak tahu.
Pemuda itu menimpali, untuk apa sukses, kata jutawan ya biar jadi kaya, jadi jutawan seperti saya. Pemuda itu terus mengejar, untuk apa jadi jutawan, jutawan emosi dan berkata, kau memang tolol kalau kaya kan bisa seperti saya berlibur ke luar negeri, duduk santai di pantai seperti ini. Pemuda menjawab, kan saya sudah nyaman duduk santai di tepi pantai.
Dialog di atas jelas bukan menjustifikasi pengangguran, semua orang memang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Pesan yang ingin disampaikan adalah pendidikan sekali lagi tidak hanya menyediakan keterampilan kerja an sich.
Jauh dari itu, pendidikan membawa misi paling mulia di muka bumi. Karena pertanyaannya adalah apakah setelah bekerja dan menjadi jutawan, seseorang akan memiliki akhlak mulia dan tidak melakukan kecurangan, berempati dengan sesama atau mengasihi yang lemah. Belum tentu.
Maka pendidikan adalah risalah para nabi, tugas mulia untuk memanusiakan manusia. Sedangkan manusia tidak pincang atau satu dimensi, ia multidimensi, bukan hanya intelektual dan psikomotor, ia meliputi banyak dimensi terutama jiwa dan moral.
Sapri memang dari kampung tapi ia tidak kampungan. Karena kampungan dapat didefinisikan sebagai berpikiran tidak maju, terbelakang, dan jumud. Pemikiran Sapri mungkin lebih maju dari sebagian besar kita.
Sementara sebagian orang kota justru berpikiran terbelakang, tapi mereka tidak meyadarinya. Mengira berpikiran modern tapi sebenarnya dangkal, terperosok dalam jurang materialisme dan menuhankan kebahagiaan semu.
Ada baiknya menengok kembali sistem pendidikan kita. Berkaca dari pengalaman negara lain juga perlu, tapi lebih penting mengkaji kekayaan budaya lokal. Mengapa misalnya pendidikan di Finlandia terbaik di dunia, karena lebih memperlakukan anak didik sebagai manusia. Semakin kita memperlakukan murid sebagai manusia dengan semua kekhususannya, maka tujuan pendidikan akan semakin tercapai.***
Penulis, pemerhati masalah sosial, alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).