Aku Guru

71642bfb 3b4d 47ba ad85 1cc8c93d0816 1
Kang Yatno, (Foto: Dok. Pribadi).

Oleh Suryatno Suharma

GURU itu pilihanku terbaik. Mengapa kupilih jadi guru? Karena aku ingin berbuat baik. Guru wajib baik.

Sejak kapan aku menjadi guru? Sejak ada niat, ada peluang, dan ada potensi serta prasyarat. Profesional itu pasti, agar aku tidak jadi guru alakadar.

Tanggung jawab moral, sosial, serta tadi, profesional. Jadi, guru tak cukup niat saja. Tak cukup ijazah atau sertifikat saja. Tak cukup hanya karena lulus seleksi saja.

Pendek kata, guru aku terima sebagai takdir yang wajib disyukuri. Bagaimana aku bersyukur yang tepat? Ya, wajib menjadi guru yang baik dan ikhlas.

O, belajar tanpa batas, belajar sepanjang hayat. Aku tidak serta-merta menjadi guru yang mumpuni, bila aku tak banyak belajar secara cerdas. Ada banyak jenis dan cara belajar. Masa guru belajar asal-asalan atau asal lulus saja? Ya, tentu tidak.

Setelah aku membaca, ternyata guru juga banyak jenisnya. Ada guru rajin, kurang rajin, dan jenis guru lainnya. Aku sering menilai sosok dan karakter guruku sejak dulu. Sama, guru memang begitu, beragam.

Lalu apa lacur?

Guru, sejatinya harus bisa digugu dan ditiru. Jika kini di era global ada guru yang belum ideal, tak mengapa. Belajar baik saja.

Aku harus belajar tekun dan kontinu. Aku harus meniru orang baik. Dan, setiap orang ingin dan bisa berbuat baik itu. Guru yang baik itu peniru yang baik.

Manusia itu kodrati peniru. Tak mengapa, asal meniru pada prilaku baik. Ya, aku terus belajar meniru kebaikan. Masa aku kalah baik oleh orang yang bukan guru.

Introspeksiku.

Hah, jika saja aku jadi guru tak baik, berapa murid yang jadi korban?

Tuh, gurumu… Bla… Bla… Bla…

Ya, syukuri profesi guru dengan cara terus belajar baik.***

Penulis mengelola Yayasan Atikan Insan Basajan, Cihideung, Parongpong, Bandung Barat